Selasa, 15 Maret 2011

TUGAS SOFTSKILL budaya organisasi

BAB 1
Budaya organisasi adalah satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implicit
oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan , dan
bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam. Budaya merefleksikan nilai-nilai
dan keyakinan yang dimiliki oleh anggota organisasi. Nilai-nilai tersebut cenderung
berlangsung dalam waktu lama dan lebih tahan terhadap
perubahan. sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang
membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama
ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.
Perspektif Budaya Organisasi
DEWASA ini istilah budaya tidak hanya jadi trend dan mempesonakan, tetapi juga
dipandang membantu kebanyakan orang dalam membuat perbandingan antara aspekaspek
simbolik suatu budaya dan aspek-aspek simbolik sebuah organisasi. Menurut
Suryadi (2003:109) munculnya perhatian yang tinggi terhadap konsep budaya organisasi
(organizational culture) tampaknya dilatarbelakangi oleh perasaan kecewa para ahli
terhadap teori-teori rasional (objektif) dalam meramalkan perilaku. Teori-teori tersebut
dipandang hanya menjelaskan kulit luar organisasi tetapi tidak menyinggung jiwa
organisasi (aspek simbolik di dalam organisasi). Reaksi terhadap teori-teori rasional
tradisional akhirnya mendorong suatu perubahan ke arah konsep budaya. Namun
demikian, pendekatan kebudayaan tidak dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap
dominasi objectivistic, positivistic, dan functionalistic dalam teori organisasi dan
manajemen. Kehadirannya semata-mata sebagai pelengkap (salah satu variabel) dalam
rangka memprediksi dan pengendalian organisasi disamping pendekatan yang ada
selama ini.
Pace dan Faules, (1994:91) menjelaskan, dalam diskursus teori-teori ilmu sosial,
fenomena budaya dapat ditelaah dalam perspektif objektif maupun subjektif. Asumsi
sederhananya adalah bahwa manusia mengalami keberadaan objek-objek yang bersifat
fisik yang membentuk realitas, namun diyakini juga bahwa manusia menciptakan
pengalaman yang dimilikinya bersama orang lain dan objek-objek. Jika ditelaah dalam
perspektif objektif, kebudayaan sebagai realitas sosial dipandang sebagai suatu
komponen dari sistem sosial, dimana kedua-duanya terintegrasi ke dalam suatu sistem
“sosio-budaya” . Perspektif ini melahirkan kebudayaan sebagai suatu yang bersifat fisik
dan konkret yang melekat pada sistem sosial masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
batas-batas yang pasti dalam sistem sosial. Sebaliknya jika ditelaah dari perspektif
subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-teori dunia para anggotanya, yakni makna,
lambang dan nilai-nilai yang dimiliki bersama. Dunia kebudayaan dan dunia sosial dilihat
sebagai sesuatu yang berbeda tetapi berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu
masyarakat dapat berkembang secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses
formalnya. Inti kajiannya terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan
peristiwa dalam masyarakat. Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam dari
peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu yang menjadi latar belakang disamping yang
bersifat instrumental.
Adanya dikotomi perspektif budaya sebagaimana diuraikan di atas, menurut Alvesson dan
Berg (1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali menimbulkan kerancuan
dalam studi dan pembahasan tentang budaya organisasional. Karena itu, dalam konteks
penelitian pemahaman terhadap pendekatan atau teori mana yang akan digunakan
menjadi penting. Mengingat, bagaimana budaya organisasi dikonsepsikan akan
berpengaruh kepada bagaimana budaya organisasi didefinisikan.
Menurut Sackman (1991:90) terdapat tiga perspektif utama dalam memandang budaya
organisasi, yaitu 1) perspektif holistik, 2) perspektif variabel, dan 3) perspektif kognitif.
Perspektif holistik memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir,
menggunakan perasaan dan bereaksi. Perspektif variabel penekanannya pada
pengekpresian budaya. Sedangkan perspektif kognitif memberi penekanan kepada
keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, pengetahuan yang diorganisasikan yang ada
dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas. Dalam perspektif kognitif ini, esensi
budaya adalah konstruksi bersama mengenai realitas sosial.
Menurut Suryadi (2003:112), ada tiga implikasi penting yang dapat ditangkap dari
pendekatan budaya terhadap teori-teori organisasi dan manajemen. Pertama, munculnya
paradigma baru dalam memandang fungsi-fungsi manajemen, khususnya yang berkaitan
dengan fungsi kepemimpinan (manajer). Dimana, kepemimpinan harus dipahami sebagai
orang yang mendefinisikan makna dan menciptakan pandangan tentang realitas
organisasi melalui pengikutsertaan anggota organisasi dalam pemberian makna tersebut
pada kegiatan organisasi. Karena itu, seyogianya pemimpin yang baik itu tidak hanya
menciptakan profit bagi organisasi, tetapi menciptakan pula makna bagi para anggota
organisasi. Sayang sekali para manajer sering lupa untuk menggandengkan keduaduanya
dalam porsi yang seimbang. Kedua, berkaitan dengan pertanyaan heuristik
mengenai apa yang dapat dipelajari tentang organisasi melalui pendekatan budaya yang
luput dari perhatian teori-teori tradisional (objektif) tentang organisasi dan manajemen.
Ketiga berkaitan dengan pertanyaan pragmatis tentang fungsi budaya yang diperkirakan
dapat memberikan sumbangan positif terhadap kehidupan organisasi. Karena itu,
sejauhmana nilai guna dan sumbangan pendekatan budaya dalam memahami kehidupan
organisasi masih perlu diuji secara empirik. Kenyataannya di Indonesia pada umumnya
menunjukkan bahwa berbagai perubahan untuk menciptakan strategi bisnis baru sesuai
dengan tuntutan perubahan, apabila sudah menyentuh dimensi sistem nilai, asumsi dasar,
kepercayaan, dan konsepsi, seringkali sistem nilai, asumsi, kepercayaan, dan konsepsi
lama masih dominan.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang
diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam
keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu
dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan.
Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang
menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu,
budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam
memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut beberapa ahli :
a. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya
organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi
dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
b. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya
organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola
tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
c. Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
d. Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh
organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang
mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.
Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai
suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
e. Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai
organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dancara para karyawan
berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam
penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang
kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.
Tujuan penerapan budaya organisasi adalah agar seluruh individu dalam perusahaan
atau organisasi mematuhi dan berpedoman pada system nilai keyakinan dan normanorma
yang berlaku dalam perusahaan atau organisasi tersebut.
Menurut Taliziduhu Ndraha (1997:65) mengemukakan bahwa: “budaya organisasi sebagai
input terdiri dari pendiri organisasi, pemilik organisasi, sumber daya manusia, pihak yang
berkepentingan, dan masyarakat.
Ada tiga tingkatan dalam menganalisis budaya organisasi, yaitu:
1. Budaya organisasi yang tampak (observable culture)
2. Nilai-nilai yang dikontribusikan (shared values), dan
3. Asumsi-asumsi umum, seperti yang dikemukakan oleh John R.Schermerhorn, James
G.Hunt, dan Richard N.Osborn (1991: 341)
Menurut Edgar H.Schein, tingkat pertama dari analisis budaya organisasi adalah faktafakta
seni, ciptaan-ciptaan, teknologi, seni dan bentuk-bentuk perilaku yang tampak serta
dapat didengar. Adapun tingkat analisis kedua adalah kesadaran terhadap nilai-nilai yang
berlaku dan tingkat analisis ketiganya adalah asumsi-asumsi dasar, hubungan dengan
lingkungan, kenyataan dan kebenaran, aktivitas manusia serta hubungan manusia.
BAB 2
BUDAYA ORGANISASI DAN UNSUR-UNSURNYA (At a Glance)
Pengertian Budaya Organisasi
Keith Davis dan John W.Newstrom (1989:60) mengemukakan bahwa: “ organizational
culture is the set of assumptions, beliefs, values, and norm that is shared among its
member ”. Lebih lanjutJohn R Schermerhorn dan James G. Hunt (1991:340)
mengemukakan bahwa “ organizational culture is the system of shared beliefs and values
that develops within an organization and guides the behavior of its member ”. Sedangkan
Edgar h.Schein (1992: 21) berpendapat bahwa: “ An organization’s culture is a pattern of
basic assumptions invented, discovered or developed by a given groups as it learns to
cope with is problems of external adaptation and internal integration that has worked well
enough to be considered valid and to be taugh to new members as the coorect way to
perceive, think and feel in relation to these problems.
Menurut Vijay Sathe: “Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki
bersama anggota masyarakat.
Berdasarkan pendapat tadi dapat disimpulkan bahwa pengertian budaya organisasi
adalah seperangkat asumsi atau system keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma yang
dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggotaanggotanya
untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Karakteristik dan Unsur-unsur Budaya Organisasi
Fred Luthans (1989:50) berpendapat bahwa: “organizational culture has a member of
important characteristics. Some of the most readily agreed upon are the following:
observed behavioral regulities, norms, dominant, values, philosophy, and organizational
climate”.
Stephen P.Robbins (1992:253) mengemukakan sebagai berikut: There appear to be ten
characteristic that whwn mixed and mached, expose the essence of an organizations
culture: individual initiative, risk tolerance, direction, integration, management support,
control, identity, reward system, conflict tolerance and communication patterns”.
Berdasarkan pendapat Fred Luthans dan Stepen P. Robbins dapat dikemukakan bahwa
pelaksanaan budaya organisasi dapat dikaji dari karakteristik budaya organisasi, yaitu:
1. Perilaku individu yang tampak.
2. Norma-norma yang berlaku dalam organisasi.
3. Nilai-nilai yang dominan dalam kehidupan organisasi.
4. Falsafah manajemen.
5. Peraturan-peraturan yang berlaku.
6. Iklim organisasi.
7. Inisiatif individu organisasi.
8. Toleransi terhadap resiko.
9. Pengarahan pimpinan/manajemen.
10. Integrasi kerja.
11. Dukungan manajemen.
12. Pengawasan kerja.
13. Identitas individu organisasi.
14. Sistem penghargaan terhadap prestasi kerja.
15. Toleransi terhadap konflik, dan
16. Pola komunikasi kerja.
Menurut Susanto, unsur-unsur budaya organisasi adalah: lingkungan usaha, nilai-nilai,
kepahlawanan, upacara, dan jaringan cultural. Menurut Daniel R.Denison, unsure-unsur
budaya organisasi, adalah: asumsi dasar, seperangkat nilai dan keyakinan yang dianut,
pemimpin, pedoman mengatasi masalah, berbagai nilai pewarisan, acuan perilaku, citra
dan brand yang khas, dan adaptasi.
Menurut Philiph Selnick, unsure-unsur budaya organisasi adalah: kumpulan orang,
kerjasama, tujuan bersama, system koordinasi, pembagian tugas dan tanggungjawab, dan
sumber daya organisasi. Sedangkan menurut Edgar H.Schein, unsure-unsur budaya
organisasi adalah: Ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, modal, humum, adat-istiadat,
perilaku/kebiasaan masyarakat, asumsi dasar, system nilai, pembelajaran, dan masalah
adaptasi eksternal dan internal.
Tipe Budaya Organisasi
Kotter dan Heskett (1992:15-49), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang
dilakukannya, mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya
lemah, budaya yang secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif.
Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992:16) menyatakan bahwa nilainilai,
norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para
anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu
kerja lebih keras, kohesivitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan
mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara
kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu 1) penyatuan
tujuan. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai cenderung melakukan
tindakan ke arah yang sama. 2) menciptakan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa
dalam diri pegawai, dan 3) memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus
bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992:22) menjelaskan
pentingnya kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan
dimana perusahaan itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan
selaras dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen
industrinya yang dispesifikasikan oleh strategi perusahaan atau strategi bisnisnya.
Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka semakin baik kinerjanya, sebaliknya
semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya.
Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya
yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi
apapun.
Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan organisasi tidak
pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada
kurun waktu tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya
organisasi harus selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari
lingkungan. Karena itulah, Kotter dan Heskett mengajukan tipe budaya adaptif dan tidak
adaptif.
Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Kotter dan Heskett (1992:33) menjelaskan bahwa
hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan
perubahan lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode
waktu yang panjang. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap
adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Makna terpenting
dari hasil penelitian pada teori ketiga ini adalah bahwa perusahaan yang budayanya
adaptif secara ideal para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya menampakkan
kepemimpinan yang mempelopori perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja
diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan, dan para
pegawainya. Sedangkan perusahaan yang budayanya tidak adaptif para manajer pada
seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan politis untuk
melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya. Perbedaan
budaya adaptif dan tidak adaptif dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Budaya Organisasi yang Adaptif dan Tidak Adaptif
Budaya Adaptif Budaya Tidak Adaptif
Nilai Inti
Kebanyakan manajer sangat
peduli akan pelanggan,
pemegang saham, dan
pegawainya. Mereka juga sangat
menghargai orang dan proses
yang dapat menciptakan
perubahan yang bermanfaat
(misalnya kepemimpinan ke atas
dan ke bawah pada hirarki
manajemen)
Kebanyakan manajer
memperdulikan terutama diri
mereka sendiri, kelompok kerja
terdekat mereka, atau beberapa
produk (teknologi) yang
berhubungan dengan kelompok
kerja tersebut. Mereka menilai
proses manajemen yang teratur
dan kurang resikonya jauh lebih
tinggi daripada inisiatif
kepemimpinan
Perilaku
Umum
Manajer memberi perhatian yang
cermat terhadap semua
konstituensi mereka, khususnya
pelanggan, memprakarsai
perubahan bila dibutuhkan untuk
melayani kepentingan mereka
yang sah, bahkan walaupun
menuntut pengambilan beberapa
resiko.
Para manajer cenderung
berperilaku agak picik, politis,
dan birokratis. Akibatnya,
mereka tidak cepat mengubah
strategi mereka untuk
menyesuaikan diri dengan atau
mengambil keuntungan dari
perubahan-perubahan dalam
lingkungan bisnis mereka.
Sumber: Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance,
The Free Press, New York.
Secara umum gambaran karakteristik budaya adaptif tercermin dari kualitas seperti
kepemimpinan, kewiraswastaan, penanggung resiko yang bijaksana, pembahasan yang
jujur, fleksibel, proaktif terhadap kehidupan organisasi dan kehidupan individu, para
anggota organisasi aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua
masalah dan mengimplementasikan pemecahan masalah yang dapat berfungsi, rasa
percaya diri (confidence) yang dimiliki bersama, tanpa rasa bimbang, bahwa mereka dapat
menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui,
kegairahan yang menyebar luas, semangat dalam mencapai keberhasilan organisasi,
serta para anggota organisasi reseptif terhadap perubahan dan inovasi.
Sebagaimana halnya tipe budaya organisasi sebelumnya, tipe budaya organisasi
ketigapun masih memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan yang menonjol dari teori
budaya adaptif adalah bahwa perubahan budaya dapat mendorong anggota organisasi
(pemimpin) untuk mengubah sesuatu ke arah yang salah.
Noe dan Mondy (1996:237) membedakan tipe budaya organisasi dalam dua kelompok,
yaitu: 1) open and participative culture, dan 2) closed and autocratic culture. Open and
participative culture ditandai oleh adanya kepercayaan terhadap bawahan, komunikasi
yang terbuka, kepemimpinan yang suportif dan penuh perhatian, penyelesaian masalah
secara kelompok, adanya otonomi pekerja, sharing informasi dan pencapaian tujuan
yangoutputnya tinggi. Closed and autocratic culture ditandai oleh pencapaian
tujuan outputyang tinggi, namun pencapaian tersebut mungkin lebih dinyatakan dan
dipaksakan pada organisasi dengan para pemimpin yang otokrasi dan kuat. Semakin
besar rigiditas dalam budaya ini, yang merupakan hasil kepatuhan yang ketat terhadap
suatu mata rantai komando formal, semakin sempit pula rentang manajemen dan
akuntabilitas individual. Selain itu, karakteristik ini lebih menekankan pada individual
daripada teamwork.
Handy dalam Suryadi (2003:126) mengembangkan tipe budaya organisasi berdasarkan
tingkat formalisasi dan sentralisasi. Atas dasar konfigurasinya itu, budaya organisasi
dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu: 1) formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi, 2)
formalisasi rendah, sentralisasi tinggi, 3) formalisasi tinggi, sentralisasi rendah, 4)
formalisasi rendah, sentralisasi rendah.
Formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi. Budaya tipe ini adalah budaya birokrasi dimana
semua pekerjaan sudah diatur secara sistematis melalui berbagai macam prosedur, kalau
perlu dengan time and motion study yang cermat. Dengan demikian porsi pekerjaan
anggota organisasi sudah ditetapkan dan bersifat rutin. Formalisasi rendah, sentralisasi
tinggi. Budaya seperti ini, tidak banyak terdapat peraturan atau prosedur. Kekuasaan
tertinggi berada di tangan satu orang atau sebuah kelompok kecil yang memberi komando
dari pusat, seperti seekor laba-laba yang berada di tengah jaringnya. Formalisasi tinggi,
sentralisasi rendah. Budaya ini terdapat pada kelompok-kelompok kerja interdisipliner
yang diorganisir berdasarkan suatu tugas atau proyek. Budaya seperti ini, cara kerja para
anggota sangat independen tetapi mereka terikat oleh berbagai prosedur yang ketat.
Formalisasi rendah, sentralisasi rendah. Budaya tipe ini sangat decentralized dan informal.
Para anggota organisasi mempunyai tujuan atau kepentingan yang sama tetapi masih
menikmati kebebasan individu yang tinggi. Budaya organisasi ini ditandai oleh
bergabungnya para ahli yang berdiri sendiri untuk bekerjasama berdasarkan kesamaan
minat dan kesenangan, seperti konsultan.
Deal dan Kennedy (1982:330) mengemukakan empat jenis budaya perusahaan.
(1)Macho culture. Perusahaan menganut budaya ini, anggotanya harus berani mengambil
risiko yang tinggi dan akan segera menerima umpan dari manajemen mengenai
tindakannya. Tampaknya budaya ini menimbulkan persaingan internal dan menganggap
konflik internal sesuatu yang wajar. (2) Work hard – play hard. Budaya perusahaan ini
ditandai oleh risiko rendah dan umpan balik yang cepat namun budaya ini menekankan
pada “keriangan” dalam bekerja serta lebih berorientasi pada masa kini. (3) Bet – your –
company. Budaya ini cenderung dianut perusahaan yang berada pada risiko tinggi namun
umpan balik terhadap pekerjaan biasanya relatif sama. Perusahaan minyak merupakan
salah satu contoh organisasi yang mungkin cocok dengan budaya ini. Budaya ini
menghargai kewenangan, kompetensi teknis, kerja sama dan tahan stress. (4) Process
culture. budaya ini tercermin pada risiko rendah dan umpan balik lambat. Nilai-nilai yang
dianut adalah protektif, dan keberhati-hatian. Perusahaan asuransi banyak menganut
budaya ini.
Harrison (1972) dalam Poespadibrata (1983:222) membedakan empat orientasi budaya
organisasi yang terpisah dan bertentangan satu sama lain, yaitu (1) orientasi kekuasaan
(power orientation), (2) orientasi peran (role orientation), (3) orientasi tugas (task
orientation), dan (4) orientasi person (person orientation).
Orientasi kekuasaan. Budaya ini menekankan kepada bagaimana lingkungan eksternal
dikuasai dan ditundukkan dan dicirikan oleh norma-norma: bersaing untuk menjaga
wilayah kekuasaannya, berusaha memperluas kekuasaannya dengan merugikan orang
lain, membeli dan menjual organisasi dan atau orang seperti barang komoditi, tidak
memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan anggota, hukum rimba masih
berlaku, mengejar keuntungan pribadi diantara para eksekutif organisasi.
Budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan memiliki beberapa kelemahan. Pertama,
tidak adaptif terhadap lingkungan yang perubahannya sangat dinamis dan menuntut
respons yang fleksibel. Hal ini antara lain disebabkan oleh keputusan yang diambil pada
tingkat top manajemen harus disalurkan melalui hirarki organisasi untuk menjaring
informasi yang “tidak sesuai”. Proses penyaringan informasi itu, biasanya akan
memperlambat respons organisasi pada perubahan lingkungan yang sangat cepat. Dapat
juga terjadi “pemutarbalikan” informasi untuk kepentingan pribadi. Kedua, biasanya hanya
sejumlah kecil anggota organisasi yang agresiflah yang mendapat kesempatan untuk
mengembangkan kariernya ke tingkat yang paling tinggi. Ketiga, tidak memberikan
peluang kepada para anggota lainnya untuk mengembangkan dan memanfaatkan
kontribusi internal, inisiatif atas dasar pertimbangan anggota itu sendiri. Keempat, pada
saat organisasi semakin besar dan kompleks, biasanya pengendalian dari pimpinan
tertinggi akan semakin sulit.
Di samping memiliki kekurangan, budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan juga
memiliki beberapa kelebihan. Pertama, struktur dan proses pengambilan keputusan pada
organisasi semacam ini, biasanya sangat efektif bagi pemecahan masalah yang menuntut
keputusan segera dan berisiko tinggi. Dalam situasi seperti itu, biasanya pula akan
muncul pemimpin-pemimpin agresif dan dapat memimpin organisasi dalam lingkungan
yang penuh resiko dan persaingan tinggi. Kedua, jika permasalahan yang muncul dapat
dipecahkan oleh satu atau sekelompok kecil orang di pucuk pimpinan, maka budaya yang
berorientasi kekuasaan akan berjalan lancar. Ketiga, dapat berfungsi efektif bagi para
anggota organisasi yang hanya sekedar ingin hidup dan mengutamakan keselamatan.
Orientasi peran. Budaya organisasi semacam ini sering disebut juga sebagai budaya
birokrasi yang merupakan reaksi terhadap budaya yang berorientasi kekuasaan. Orientasi
budaya ini ditandai antara lain oleh persaingan dan konflik diatur atau diganti oleh
kesepakatan atau perjanjian; adanya peraturan dan prosedur; hak dan kewajiban
diberikan dan ditaati secara cermat; keterikatan yang besar pada
hierarki/status/kedudukan diubah menjadi keterikatan pada keabsahan kewenangan dan
peraturan; kemantapan dan kehormatan sering dinilai setara dengan kemampuan;
respons yang benar cenderung lebih dihargai dari pada respons yang efektif; prosedur
untuk perubahan cenderung tidak praktis dan lambat untuk menyesuaikan dengan
perubahan lingkungan. Dengan demikian, esensi budaya semacam ini didasarkan kepada
keinginan untuk berpikir secara rasional dan setertib mungkin atas dasar hukum,
keabsahan, kewenangan, hak, dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Implikasinya, tidak ada pilihan bagi anggota organisasi, khalayak atau klien ketika
berhubungan dengan organisasi semacam ini. Contoh fenomena budaya semacam ini
dapat dijumpai pada organisasi-organisasi perbankan, asuransi dan organisasi-organisasi
non profit.
Terdapat beberapa kelemahan budaya berorientasi peran. Pertama, sebagaimana halnya
budaya orientasi kekuasaan, budaya orientasi peran juga dipandang tidak fleksibel dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan. Alasannya bahwa ketertiban, keteraturan,
kemantapan dan keamanan (prosedur) yang merupakan nilai-nilai yang dianut dalam
orientasi budaya peran, lebih diandalkan sehingga secara otomatis akan melahirkan
peran-peran dan struktur yang kaku dan hubungan birokratis. Akibatnya akan terbentuk
stabilitas yang kaku sehingga para pemimpin yang memiliki kekuasaan pun tidak akan
berdaya untuk menghasilkan perubahan yang dibutuhkan dengan cepat. Kedua, kurang
mampu beradaptasi dalam menghadapi ancaman yang mendadak dan meningkat, akibat
terlalu mengandalkan prosedur operasional yang sudah mapan. Sedangkan kelebihannya
adalah pertama, sangat efektif untuk organisasi yang sudah besar dan kompleks.
Kedua,memudahkan pimpinan tertinggi untuk melakukan pengendalian secara efektif.
Ketiga,memberikan pedoman kerja yang jelas berupa peraturan dan prosedur, yang
memberikan kemungkinan terbentuknya integrasi internal tanpa intervensi aktif dari
pimpinan tertinggi.
Orientasi tugas. Budaya organisasi semacam ini didasarkan kepada asumsi bahwa
pencapaian tujuan yang paling tinggi (super ordinate goals) merupakan prioritas utama
dan dinilai tinggi. Karena itu, struktur organisasi, fungsi dan kegiatan selalu dinilai
berdasarkan signifikansinya terhadap pencapaian tujuan yang gradasinya paling tinggi.
Budaya semacam ini antara lain ditandai oleh tidak ada yang boleh menghalangi
penyelesaian tugas dalam rangka pencapaian tujuan; mekanisme organisasi (peraturan,
struktur, prosedur) yang tidak efektif bagi pemecahan masalah selalu diubah untuk
memenuhi kebutuhan akan tugas dan fungsi yang dijalankan; wewenang dianggap sah
hanya jika didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi yang tepat; tidak ada sifat
kompetitif yang melekat pada budaya orientasi tugas; fleksibilitas organisasi sangat tinggi
dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan; pencapaian tujuan dan kesamaan
nilai-nilai yang dianut selalu menjadi acuan dalam setiap proses kerjasama.
Budaya semacam ini biasanya akan cocok bila dihadapkan kepada lingkungan yang tidak
hanya kompleks dan dinamis tetapi perubahannya sangat cepat. Strategi yang diterapkan
biasanya dengan cara membentuk satuan-satuan tugas atau tim-tim kecil yang terdiri atas
para ahli yang kompeten dalam bidangnya masing-masing. Satuan tugas atau tim yang
dibentuk tidak bersifat permanen melainkan bergantung kepada kebutuhan. Karena itu,
ketika satuan tugas sudah selesai menjalankan misinya, biasanya satuan tugas tersebut
dibubarkan dan para anggotanya bergabung dengan satuan-satuan tugas yang baru untuk
memecahkan masalah-masalah yang baru pula. Persoalan yang dihadapi budaya
organisasi berorientasi peran biasanya terlalu mengandalkan komitmen penuh dari para
anggota organisasi di semua jenjang organisasi.
Kelebihan dari orientasi budaya tugas antara lain, pertama, sangat fleksibel dalam
menghadapi dinamika perubahan lingkungan yang kompleks dan cepat.
Kedua,menciptakan sistem pengendalian yang lentur, sehingga memudahkan peralihan
dengan cepat bila sumber daya yang berbeda diperlukan atas dasar masalah-masalah
eksternal. Sedangkan kelemahannya adalah pertama, mengandalkan komitmen penuh
dari para anggota organisasi di semua tingkatan, sehingga terkadang memerlukan waktu
yang lama untuk merespon suatu perubahan. Kedua, sulit membina kohesi internal, akibat
oleh sifat kesementaraan dari satuan-satuan tugas atau tim yang dibentuk. Sementara itu,
kohesi internal memerlukan koordinasi kegiatan dan struktur yang berkesinambungan dan
stabil.
Secara umum budaya yang berorientasi tugas ini akan mudah ditemukan pada organisasiorganisasi
kecil, dimana para anggotanya terhimpun karena adanya nilai, tugas, atau
tujuan bersama. Sedangkan pada organisasi besar yang berteknologi tinggi biasanya
banyak ditemukan pada organisasi-organisasi industri (manufaktur).
Orientasi orang. Orientasi budaya ini didasarkan kepada asumsi bahwa organisasi
dipandang atau dinilai sebagai sarana bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhankebutuhan
mereka yang tak dapat dipenuhi jika dilakukan secara sendiri-sendiri. Karena
itu, dapat dikatakan bahwa keberadaannya dibentuk secara khusus untuk orang-orang
dengan motif dan kebutuhan akan kemandirian yang mampu mengekspresikan dirinya
sendiri. Kebutuhan-kebutuhan pribadi biasanya akan terpenuhi dalam organisasi yang
orientasi budayanya pada person. Ciri budaya organisasi yang berorientasi pada person
ditandai oleh: kewenangan bila diperlukan dapat diserahkan kepada seseorang selama
dinilai cakap dan ahli untuk menjalankan kewenangannya, sebagai gantinya para anggota
diharapkan akan saling mempengaruhi lewat keteladanan, sikap saling menolong dan
kepedulian; metode musyawarah untuk mufakat lebih disukai dalam pengambilan
keputusan: secara umum, para anggota organisasi tidak diharapkan melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan tujuan dan nilai mereka sendiri; aturan diberlakukan atas dasar
kesukaan pribadi dan kebutuhan untuk belajar dan berkembang; beban tugas yang tidak
memberikan imbalan dan tak menyenangkan ditanggung bersama.
Organisasi yang berorientasi pada budaya semacam ini, pada kenyataannya sangat
jarang. Kalaupun ada, biasanya muncul dalam bentuk biro-biro konsultan atau bantuan
yang relatif kecil dan biasanya bergerak di bidang arsitektur, hukum, dan sosial.
Kelebihan organisasi yang berorientasi person diantaranya: pertama, mampu beradaptasi
terhadap dinamika perubahan. Mengingat, struktur pada organisasi budaya seperti ini
memiliki struktur yang lentur dan jalur komunikasi serta pengendalian yang pendek.
Kedua, para anggota organisasi cenderung mempunyai komitmen dan tingkat kepedulian
yang tinggi terhadap organisasi. Sedangkan kelemahannya biasanya kesulitan dalam
mengerahkan dan mengarahkan kegiatan para anggotanya secara bersama-sama untuk
menghadapi resiko.
Fungsi Budaya Organisasi
Sebuah budaya organisasi memenuhi beberapa fungsi, yaitu:
1. Memberikan identitas organisasi kepada karyawan. Sebagai contoh adalah
mempromosikan inovasi yang memburu pengembangan produk baru. Identitas ini
didukung dengan mengadakan penghargaan yang mendorong inovasi.
2. Memudahkan komitmen kolektif. Dimana para karyawan bangga menjadi bagian dari
organisasi.
3. Mempromosikan stabilitas system social. Stabilitas system social mencerminkan taraf
dimana lingkungan kerja dirasakan positif dan mendukung, dan konflik serta perubahan
diatur dengan efektif. Organisasi juga berusaha meningkatkan stabilitas melalui budaya
promosi dari dalam.
Menurut John R.Schemerhorn dan James G.Hunt (1991:344) bahwa: “The culture of an
organization can help it deal with problems of both external adaption and internal
integration”.
Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan diri individual seseorang.
d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu
dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Sumber-sumber Budaya Organisasi
Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:264), budaya
organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat
dikendalikan oleh organisasi.
2. Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat
Keyakinan-keyakinan dn nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya
kesopansantunan dan kebersihan.
3. Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi
Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah
eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang
berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi
tumbuhnya budaya organisasi.
Ciri-ciri Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996:289), ada 7 ciri-ciri budaya organisasi adalah:
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi
inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan
kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik
dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada
orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya
individu.
6. Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.
7. Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang
sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh
gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk
perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi
itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku
(Robbins, 1996 : 289).
Tipe Budaya Organisasi
Terdapat tiga tipe umum budaya organisasi, yaitu: konstruktif, pasif-defensif, dan agresifdefensif.
Setiap tipe berhubungan dengan seperangkat keyakinan normative yang
berbeda.
Keyakinan normative mencerminkan pemikiran dan keyakinan individual mengenai
bagaimana anggota dari sebuah kelompok atau organisasi tertentu diharapkan
menjalankan tugasnya dan berinteraksi dengan orang lain.
Pasif-defensif adalah keyakinan yang berciri memungkinkan karyawan berinteraksi
dengan karyawan lainnya dengan cara yang tidak mengancam keamanan kerjanya
sendiri.
Budaya agresif-defensif mendorong karyawannya untuk mengerjakan tugasnya dengan
keras untuk melindungi keamanan kerja dan status mereka. Tipe budaya ini bercirikan
keyakinan normative yang berhubungan dengan persetujuan, konvensional,
ketergantungan dan penghindaran.
Bagaimana Budaya Ditanamkan dalam Organisasi
Edgar Schein, sarjana perilaku organisasi yang terkenal mengatakan bahwa menanamkan
sebuah budaya melibatkan proses belajar. Anggota organisasi mengajarkan satu sama
lainnya mengenai nilai-nilai, keyakinan, pengharapan, dan perilaku yang dipilih organisasi,
dengan menggunakan satu atau lebih mekanisme berikut:
1. Pernyataan filosofi formal, misi, visi, nilai, dan material organisasi yang digunakan untuk
rekruitmen, seleksi, dan sosialisasi.
2. Desain secara ruangan fisik, lingkungan kerja, dan bangunan. Mempertimbangkan
penggunaan alternative baru desain tempat kerja yang disebut dengan ‘hoteling’.
3. Slogan, bahasa, akronim, dan perkataan.
4. Pembentukan peranan secara hati-hati.
5. Penghargaan eksplisit, symbol status, dan criteria promosi.
6. Cerita, mitos, legenda suatu peristiwa dan orang-orang penting.
7. Aktifitas, proses, atau hasil organisasi yang juga diperhatikan, diukur, dan dikendalikan
pimpinan.
8. Reaksi pimpinan terhadap insiden yang kritis dan krisis organisasi.
9. Struktur organisasi dan aliran kerja.
10. Sistem danprosedur organisasi.
11. Tujuan organisasi dan criteria gabungan yang digunakan untuk rekruitmen, seleksi,
pengembangan, promosi, pemberhentian, dan pengunduran diri karyawan.
BAB 3
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau system keyakinan, nilai-nilai dan
norma-norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku
bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal.
2. Karakteristik budaya organisasi, yaitu: 1. Perilaku individu yang tampak.2. Normanorma
yang berlaku dalam organisasi.3. Nilai-nilai yang dominan dalam kehidupan
organisasi.4. Falsafah manajemen.5. Peraturan-peraturan yang berlaku. 6. Iklim
organisasi. 7. Inisiatif individu organisasi. 8. Toleransi terhadap resiko. 9. Pengarahan
pimpinan/manajemen. 10. Integrasi kerja. 11. Dukungan manajemen. 12. Pengawasan
kerja. 13. Identitas individu organisasi. 14. Sistem penghargaan terhadap prestasi kerja.
15. Toleransi terhadap konflik, dan 16. Pola komunikasi kerja.
3. Fungsi budaya organisasi, yaitu:
1. Memberikan identitas organisasi kepada karyawan.
2. Memudahkan komitmen kolektif.
3. Mempromosikan stabilitas system social.
4.Terdapat tiga tipe umum budaya organisasi, yaitu: konstruktif, pasif-defensif, dan agresifdefensif.
Setiap tipe berhubungan dengan seperangkat keyakinan normative yang
berbeda.
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Davis, A., (1984). Managing Corporate Culture. Cambridge, MA : Belinger.
2. Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnelly, Jr.
(1996). Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses, (Alih Bahasa Nunuk Adiarni),
Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta.
3. Hofstede, G., (1991), Cultures and Organizations: Software of The Mind,
McGraw-Hill Book Company, London.
4. Kennedy, Allan A. & Deal Terrence. E, (1982), Strong Cultures : The New “Old
Rule” for Bussiness Success, Wesley Publishing Company, P: 327-335.
5. Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance,
The Free Press, New York.
6. Kreitner, Robert & Kinicki, Angelo. (2003). Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa
Indonesia, Jakarta : Salemba Empat.
7. Luthans, Fred. (1998). Organization Behavior. International Edition, Sixth Edition,
Mc Graw-Hill, Singapore.
8. Mondy, R. Wayne, Robert M. Noe, (1993). Human Resources Management.
Allyn and Bacon Inc, USA.
9. Pace, R. Wayne & Faules, Don F. (1994). Organizational Communication. Third
Edition. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Clifs.
10. Poespadibrata, Sidharta. (1993). Sistem Nilai, Kepercayaan dan Gaya
Kepemimpinan Manajer Madya dalam Konteks Budaya organisasional. Disertasi.
Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
11. Robbins, Stephen P., (2001), Organizational Behavior, New Jersey: Pearson
Education International
12. Sackman, Sonja. (1991). Culture Knowledge In Organization. Newbury Park.
Calif. Sage.
13. Schein, Edgar H. (1992). Organizational Culture and Leadership. San Francisco:
Jossey Bass, Pub.
14. Sharplin, A., (1995), Strategic Management, McGraw-Hill, New York.
15. Siagian, Sondang, P. (1992). Kerangka Dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: PT
Rineka Cipta
16. Stoner, James A. F. & Edward Freeman, Daniel R. Gilbert, Jr.
(1996). Manajemen.Edisi Indonesia, Alih Bahasa Alexander Sindoro, PT.
Prehallindo, Jakarta.
17. Suryadi, Edi. (2003). Pengaruh Sistem Komunikasi Organisasi terhadap
Efektivitas Organisasi. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
18. Susanto A. B. (1997). Budaya Perusahaan: Manajemen dan Persaingan
Bisnis.Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
19. Aa Anwar P M. Perilaku dan Budaya Organisasi. 2008. Bandung. PT Refika Aditama
20. Manahan M Tampubolon. Manajemen Operasional. 2004. Jakarta. Ghalia Indonesia
21. R Kreiner, A Kinick. Perilaku Organisasi. 2000. Jakarta. Penerbit Salemba Empat
22. Yayat M Herujito. Dasar-dasar manajemen. 2001. Jakarta. Grasindo
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/teori-budaya-organisasi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_organisasi