Selasa, 15 November 2011

E - COMMERCE

DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………………………………  .... .
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.            Latar belakang masalah..............................................................1 
1.2.            Perumusan masalah……………………………………............1
1.3.            Tujuan penulisan…………………………………   ..................1
BAB II. PEMBAHASAN
2.1.       Perdagangan melalui jaringan elektronik…................................. 2
2.1.1.       Manfaat perdagangan melalui jaringan elektronik........................ 3
2.1.2.       Kendala perdagangan melalui jaringen elektronik…...........…..... 3
2.1.3.    Jalan menuju perdagangan melalui jaringan elektronik................. 4
2.2.       Strategi perdagangan melalui jaringan elektronik………............. 7
2.3.       Sistem Antar Organisasi (IOS)……...   ……………………… 8
2.3.1.    Manfaat IOS……………………  ……………………...….... 8
2.4.       Pertukaran Data Elektronik (EDI)………………….. ………..  9
2.4.1.    Standar EDI……………………………………  …….……..  9
2.4.2.    Tingkat penerapan EDI…….…………………..…… ...........  10
2.4.3.    Manfaat EDI..…………………………   ……….………….  10
2.5.       Teknologi perdagangan melalui jaringan elektronik…................. 11
BAB III. PENUTUP
           3.1.        Kesimpulan   ……………………………............................... 12
           3.2.        Saran……  ……………………………................................. 12
DAFTAR PUSTAKA  …………………………………………...................... 13

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Perkembangan teknologi informasi yang sangat dramatis dalam beberapa tahun terakhir telah membawa dampak transformational pada berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya dunia bisnis. Setelah berlalunya era “total quality” dan “reengineering”, kini saatnya “era elektronik” yang ditandai dengan menjamurnya istilah-istilah e-business, e-university, e-government, e-economy, e-emtertainment, dan masih banyak lagi istilah sejenis. Salah satu konsep yang dinilai merupakan paradigma bisnis baru adalah e-business atau dikenal pula dengan istilah e-commerce sebagai bidang kajian yang relatif masih baru dan akan terus berkembang, e-business berdampak besar pada praktek bisnis, setidaknya dalam hal penyempurnaan direct marketing, transformasi organisasi, dan redefinisi organisasi.
Model bisnis ini menekankan pertukaran informasi dan transaksi bisnis yang bersifat peperless, melalui Elektronik Data Interchange (EDI), E-mail, dan teknologi lainnya yang juga berbasis jaringan. Popularitas e-business dipenghujung abad 20 dan di awal milenium baru ini ditunjang oleh tiga faktor pemicu utama, yaitu : (1) faktor pasar dan ekonomi, diantara kompetisi yang semakin intensif, perekonomian global, kesepakatan dagang regional, dan kekuasaan konsumen yang semakin bertambah besar, (2) faktor sosial dan lingkungan, seperti perubahan karakteristik angkatan kerja, deregulasi pemerintah, kesadaran dan tuntutan akan praktis etis, kesadaran akan tanggung jawab sosial perusahaan, dan perubahan politik, dan (3) faktor teknologi, meliputi singkatnya usia siklus hidup produk dan teknologi.
1.2. Perumusan masalah
Dalam hal transformasi organisasi, e-commerce mengubah karakterisik pekerjaan, karir, dan kompensasi. E-commerce menuntut kompetensi, komitmen, kreativitas, dan fleksibilitas karyawan dalam beradaptasi dengan setiap perubahan lingkungan yang ramping, bercirikan pemberdayaan dan desentralisasi wewenang, beranggotakan knowledge based workers, mampu beradaptasi secara cepat dengan teknologi baru dan perubahan lingkungan (learning organisation), mampu dan berani bereksperimen dengan produk, jasa maupun proses baru, dan mampu mengelola perubahan secara strategik. Sedangkan dalam hal redefinisi organisasi, e-commerce memunculkan model bisnis baru yang berbasis jasa online di markespace. Hal ini bisa berdampak pada redefinisi misi organisasi dan cara organisasi menjalankan bisnisnya. Perubahan ini anatar lain meliputi peralihan dari sistem produksi massal menjadi pemanufakturan just in time (JIT) yang lebih customized, integrasi berbagai sistem fungsional (seperti produksi, keuangan, pemasaran, dan sumber daya manusia). Dalam hal ini difasilitasi dengan sistem ERP (Enterprise Resource Planning) berbasis internet berupa perangkat lunak khusus seperti SAP R/3, microsoft enterprise, DCOM, dan lain-lain.

1.3. Tujuan penulisan
Ketika para eksekutif bisnis masa kini mengembangkan rencana bisnis strategis untuk perusahaan mereka, mereka memiliki pilihan yang tidak tersedia beberapa tahun lalu. Perusahaan-perusahaan dapat ikut serta dalam perdagangan melalui jaringan elektronika (Electronic Commerce). Penggunaan komputer sebagai alat  utama untuk melakukan operasi bisnis dasar. Perusahaan ikut serta dalam perdagangan melalui jaringan elektronika untuk berbagai alasan, tetapi tujuan utamanya adalah keunggulan kompetitif.







BAB II
PEMBAHASAN

Perdagangan elektronik atau e-dagang (bahasa Inggris: Electronic commerce, juga e-commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-dagang dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-dagang ini sebagai aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan transaksi komersial, seperti: transfer dana secara elektronik, SCM (supply chain management), e-pemasaran (e-marketing), atau pemasaran online (online marketing), pemrosesan transaksi online (online transaction processing), pertukaran data elektronik (electronic data interchange /EDI), dll.
E-dagang atau e-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, e-dagang juga memerlukan teknologi basisdata atau pangkalan data (databases), e-surat atau surat elektronik (e-mail), dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran untuk e-dagang ini.
E-dagang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman-web (website). Menurut Riset Forrester, perdagangan elektronik menghasilkan penjualan seharga AS$12,2 milyar pada 2003. Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006 yang lalu, pendapatan ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan mencapai seperempat trilyun dolar US pada tahun 2011.

2.1 Perdagangan melalui jaringan elektronik.
Definisi E-Commerce ( Electronic Commerce) : E-commerce merupakan suatu cara berbelanja atau berdagang secara online atau direct selling yang memanfaatkan fasilitas Internet dimana terdapat website yang dapat menyediakan layanan get and deliver
commerce akan merubah semua kegiatan marketing dan juga sekaligus memangkas biayabiaya operasional untuk kegiatan trading (perdagangan). Perkembangan teknologi (tele)komunikasi dan komputer menyebabkan terjadinya perubahan kultur kita sehari-hari. Dalam era yang disebut “information age” ini, media elektronik menjadi salah satu media andalan untuk melakukan komunikasi dan bisnis. E commerce merupakan extensiondari commerce dengan mengeksploitasi media elektronik. Meskipun penggunaan media elektronik ini belum dimengerti, akan tetapi desakan bisnis menyebabkan para pelaku bisnis mau tidak mau harus menggunakan media elektronik ini.
Pendapat yang sangat berlebihan tentang bisnis ‘dotcom’ atau bisnis on-line seolah-olah mampu menggantikan bisnis tradisionalnya (off-line). Kita dapat melakukan order dengen cepat diinternet – dalam orde menit – tetapi proses pengiriman barang justru memakan waktu dan koordinasi yang lebih rumit, bisa memakan waktu mingguan, menurut Softbank;s Rieschel, Internet hanya menyelesaikan 10% dari proses transaksi, sementara 90 % lainnya adalah biaya untuk persiapan infrastruktur back-end, termasuk logistic. Reintiventing dunia bisnis bukan berarti menggantikan system yang ada, tapi justru komplemen dan ekstensi dari system infratruktur perdagangan dan produksi yang ada sebelumnya.

2.1.1. Manfaat Perdagangan melalui jaringan elektronik
Ada banyak manfaat bagi Organisasi, Konsumen, dan Masyarakat luas dalam fasilitas E-commerce melalui internet, antara lain :

1. Bagi Organisasi
Memperluas pasar hingga mencakup pasar nasional dan pasar global, sehingga perusahaan bisa menjangkau lebih banyak pelanggan, memilih pemasok terbaik, dan menjalin relasi dengan mitra bisnis yang dinilai paling cocok.
Menekan biaya menyusun, memproses, mendistribusikan, menyimpan, dan mengakses informasi berbasis kertas.
Memungkinkan perusahaan mewujudkan bisnis yang sangat terspesialisasi.
Menekan biaya persediaan dan overhead dengan cara memfasilitasi manajemen rantai nilai bertipe “pull” yang prosesnya berawal dari pesanan pelanggan dan menggunakan pemanufakturan just-in-time.
Menekan waktu antara pembayaran dan penerimaan produk/jasa.
Meningkatkan produktivitas karyawan melalui rekayasa ulang proses bisnis.
Menekan biaya telekomunikasi.

2. Bagi Konsumen
Memungkinkan konsumen berbelanja atau melakukan transaksi lainnya setiap saat (24 jam).
Memberikan pilihan produk dan pemasok yang lebih banyak kepada pelanggan.
Memungkinkan konsumen dalam mendapatkan produk dan jasa yang lebih murah,karena konsumen bisa berbelanja di banyak tempat dan melakukan perbandingan secara cepat.
Produk yang terdigitalisasi, e-business memungkinkan pengiriman produk secara cepat dan real-time.
Memungkinkan pelanggan berinteraksi dengan pelanggan lainnyadalam electronik communities dan saling bertukar gagasan dan pengalaman.
Memungkinkan pelanggan berpartisipasi dalam lelang virtual.

3. Bagi Masyarakat luas
Memungkinkan lebih banyak orang bekerja di rumah.
Memungkinkan beberapa jenis barang dijual dengan harga murah.

2.1.2. Kendala perdagangan melalui jaringan elektronik
Menurut survey yang dilakukan oleh CommerceNet http://www.commerce.netpara pembeli/pembelanja belum menaruh kepercayaan kepada e-commerce, mereka tidak dapat menemukan apa yang mereka cari di e-commerce, belum ada cara yang mudah dan sederhana untuk membayar. Di samping itu, surfing di e-commerce belum lancar betul.
Selain banyak memberikan manfaat perdagangan melalui jaringan elektronik juga sering mengalami banyak kendala, diantaranya :
Selain membuahkan hasil, bisnis di internet juga banyak yang rontok, banyak sekali pelaku bisnis di internet yang gulung tikar karena tidak sanggup bersaing dan tidak memiliki inovasi dan kreatifitas.
Banyaknya kriminalitas di internet, seperti card froud (pencurian akses kartu kredit). Hal ini membuat orang konsumen malas berbelanja online. Walaupun sebagian besar toko online menerima pembayaran melalui transfer antar bank.
Budaya orang Indonesia yang merasa tidak nyaman kalo berbelanja hanya dengan melihat katalog produk, tanpa menyentuh, apalagi mencoba-coba. Bayangkan saja, berapa orang ibu-ibu yang pergi ke toko butik, dan menyentuh baju atau tas, lalu coba sana dan coba sini, trus ibu-ibu tersebut bilang sama yang punya toko, “maaf pak, bajunya gak cocok sama saya”. Konon lagi konsumen e-commerce hanya mengandalkan katalog.
Pelanggan e-commerce masih takut ada pencuri kartu kredit, rahasia informasi personal mereka menjadi terbuka, dan kinerja jaringan yang kurang baik. Umumnya pembeli masih belum yakin bahwa akan menguntungkan dengan menyambung ke Internet, mencari situs shopping, menunggu download gambar, mencoba mengerti bagaimana cara memesan sesuatu, dan kemudian harus takut apakah nomor kartu kredit mereka di ambil oleh hacker.
Tampaknya untuk meyakinkan pelanggan ini, e-merchant harus melakukan banyak proses pemandaian pelanggan. Walaupun demikian Gail Grant, kepala lembaga penelitian di CommerceNet http://www.commerce.net/ meramalkan sebagian besar pembeli akan berhasil mengatasi penghalang tersebut setelah beberapa tahun mendatang.
Grant mengatakan jika saja pada halaman Web dapat dibuat label yang memberikan informasi tentang produk dan harganya, akan sangat memudahkan untuk search engine menemukan sebuah produk secara online. Hal tersebut belum terjadi memang karena sebagian besar merchant ingin agar orang menemukan hanya produk mereka tapi bukan kompetitor-nya apalagi jika ternyata harga yang diberikan kompetitor lebih murah.
Untuk sistem bisnis-ke-bisnis, isu yang ada memang tidak sepelik di atas, akan tetapi tetap ada isu-isu serius. Seperti para pengusaha belum punya model yang baik bagaimana cara mensetup situs e-commerce mereka, mereka mengalami kesulitan untuk melakukan sharing antara informasi yang diperoleh online dengan aplikasi bisnis lainnya. Masalah yang barangkali menjadi kendala utama adalah ide untuk sharing informasi bisnis kepada pelanggan dan supplier – hal ini merupakan strategi utama dalam sistem e-commerce bisnis ke bisnis. Kunci utama untuk memecahkan masalah adalah merchant harus menghentikan pemikiran bahwa dengan cara menopangkan diri pada Java applets maka semua masalah akan solved, padahal kenyataannya adalah sebetulnya merchant harus me-restrukturisasi operasi mereka untuk mengambil keuntungan maksimal dari e-commerce. Grant mengatakan, “E-commerce is just like any automation – it amplifies problems with their operation they already had.”

2.1.3. Jalan menuju perdagangan melalui jalur elektronik

Dari beragam jenis aplikasi E-Commerce yang ada, secara prinsip mekanisme kerjanya kurang lebih sama.
Ada dua hal utama yang biasa dilakukan oleh konsumen (Customers) di dunia maya (arena transaksi yang terbentuk karena adanya jaringan internet). Pertama adalah melihat produk-produk atau jasa-jasa yang diiklankan oleh perusahaan terkait melalui website-nya (Online Ads). Kedua adalah mencari data atau informasi tertentu yang dibutuhkan sehubungan dengan proses transaksi bisnis atau dagang (jual beli) yang akan dilakukan.
Jika tertarik dengan produk atau jasa yang ditawarkan, konsumen dapat melakukan transaksi perdagangan dengan dua cara. Cara pertama adalah secara konvensional (Standard Orders) seperti yang selama ini dilakukan, baik melalui telepon, faks, atau langsung datang ke tempat penjualan produk atau jasa terkait. Cara kedua adalah melakukan pemesanan secara elektronik (Online Orders), yaitu dengan menggunakan perangkat komputer yang dapat ditemukan dimana saja (rumah, sekolah, tempat kerja, warnet, dsb.).
Berdasarkan pesanan tersebut, penjual produk atau jasa akan mendistribusikan barangnya kepada konsumen melalui dua jalur (Distribution). Bagi perusahaan yang melibatkan barang secara fisik, perusahaan akan mengirimkannya melalui kurir ke tempat pemesan berada. Yang menarik adalah jalur kedua, dimana disediakan bagi produk atau jasa yang dapat digitisasi (diubah menjadi sinyal digital). Produk-produk yang berbentuk semacam teks, gambar, video, dan audio secara fisik tidak perlu lagi dikirimkan, namun dapat disampaikan melalui jalur internet. Contohnya adalah electronic newspapers, digital library, virtual school, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, melalui internet dapat dilakukan pula aktivitas pasca pembelian, yaitu pelayanan purna jual (Electronic Customer Support). Proses ini dapat dilakukan melalui jalur konvensional, seperti telepon, ataupun jalur internet, seperti email, tele conference, chatting, dan lain-lain. Diharapkan dari interaksi tersebut di atas, konsumen dapat datang kembali dan melakukan pembelian produk atau jasa di kemudian hari (Follow-On Sales).
Secara strategis, ada tiga domain besar yang membentuk komunitas E-Commerce, yaitu: proses, institusi, dan teknologi. Seperti telah dijelaskan di atas, proses yang terjadi di dalam perdagangan elektronik kurang lebih sama.

Elemen pertama adalah “proses”. Proses yang berkaitan dengan produk atau jasa fisik, biasanya akan melalui rantai nilai (value chain) seperti yang diperkenalkan oleh Michael Porter: Proses utama terdiri dari: inbound logistics, production, outbound logistics and distribution, sales and marketing, dan services dan Proses penunjang terdiri dari: procurement, firm infrastructure, dan technology.
Sementara proses yang melibatkan produk atau jasa digital, akan mengikuti rantai nilai virtual (virtual value chain) seperti yang diperkenalkan oleh Indrajit Singha, yang meliputi rangkaian aktivitas: gathering, organizing, selecting, synthesizing, dan distributing.
Elemen kedua adalah “institusi”. Salah satu prinsip yang dipegang dalam E-Commerce adalah diterapkannya asas jejaring (inter-networking), dimana dikatakan bahwa untuk sukses, sebuah perusahaan E-Commerce harus bekerja sama dengan berbagai institusi-institusi yang ada (perusahaan tidak dapat berdiri sendiri). Sebuah perusahaan dotcom misalnya, dalam menjalankan prinsip-prinsip perdagangan elektronik harus bekerja sama dengan pemasok (supplier), pemilik barang (merchant), penyedia jasa pembayaran (bank), bahkan konsumen (customers).  Kerjasama yang dimaksud di sini akan mencapai tingkat efektivitas dan efisiensi yang diinginkan dengan cara melakukannya secara otomatis (melibatkan teknologi komputer dan telekomunikasi).
Elemen ketiga adalah “teknologi informasi”. Pada akhirnya secara operasional, faktor infrastruktur teknologi akan sangat menentukan tingkat kinerja bisnis E-Commerce yang diinginkan. Ada tiga jenis “tulang punggung” teknologi informasi yang biasa dipergunakan dalam konteks perdagangan elektronik: intranet, ekstranet, dan internet. Intranet merupakan infrastruktur teknologi informasi yang merupakan pengembangan dari teknologi lama semacam LAN (Local Area Network) dan WAN (Wide Area Network). Prinsip dasar dari intranet adalah dihubungkannya setiap sumber daya manusia (manajemen, staf, dan karyawan) di dalam sebuah perusahaan. Dengan adanya jalur komunikasi yang efisien (secara elektronis), diharapkan proses kolaborasi dan kooperasi dapat dilakukan secara efektif, sehingga meningkatkan kinerja perusahaan dalam hal pengambilan keputusan. Setelah sistem intranet terinstalasi dengan baik, infrastruktur berikut yang dapat dibangun adalahekstranet. Ekstranet tidak lebih dari penggabungan dua atau lebih intranet karena adanya hubungan kerja sama bisnis antara dua atau lebih lembaga. Contohnya adalah sebuah perusahaan yang membangun “interface” dengan sistem perusahaan rekanannya (pemasok, distributor, agen, dsb.). Format ekstranet inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya tipe E-Commerce B-to-B (Business-to-Business).  Infrastruktur terakhir yang dewasa ini menjadi primadona dalam perdagangan elektronik adalah menghubungkan sistem yang ada dengan “public domain”, yang dalam hal ini diwakili oleh teknologi internet. Internet adalah gerbang masuk ke dunia maya, dimana produsen dapat dengan mudah menjalin hubungan langsung dengan seluruh calon pelanggan di seluruh dunia. Di sinilah tipe perdagangan E-Commerce B-to-C (Business-to-Consumers) dan C-to-C (Consumers-to-Consumers) dapat diimplementasikan secara penuh.

2.2. Strategi perdagangan melalui jaringan elektronik
Ternyata tidak mudah mengimplementasikan eCommerce dikarenakan banyaknya faktor yang terkait dan teknologi yang harus dikuasai. Tulisan (report) ini diharapkan dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang teknologi apa saja yang terkait, standar-standar yang digunakan, dan faktor-faktor yang harus diselesaikan.
Jenis eCommerce dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu Business to Consumer eCommerce (B2C) dan Business to Business (B2B). Kedua jenis eCommerce ini memiliki karakteristikyang berbeda. Model yang umum digunakan adalah peer-topeer, dimana processing intelligence dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.
Business to Consumer eCommerce
Business to Consumer eCommerce memiliki permasalahan yang berbeda. Mekanisme untuk mendekati consumer pada saat ini menggunakan bermacam-macam pendekatan seperti misalnya dengan menggunakan “electronic shopping mall” atau menggunakan konsep “portal”.  Electronic shopping mall menggunakan web sites untuk menjajakan produk dan servis. Para penjual produk dan servis membuat sebuah storefront yang menyediakan catalog produk dan servis yang diberikannya. Calon pembeli dapat melihat-lihat produk dan servis yang tersedia seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari dengan melakukan window shopping. Bedanya, (calon) pembeli dapat melakukan shopping ini kapan saja dan darimana saja dia berada tanpa dibatasi oleh jam buka took.
Konsep portal agak sedikit berbeda dengan electronic shopping mall, dimana pengelola portal menyediakan semua servis di portalnya (yang biasanya berbasis web). Sebagai contoh, portal menyediakan eMail gratis yang berbasis Web bagi para pelanggannya sehingga diharapkan sang pelanggan selalu kembali ke portal tersebut.

Business to Business Consumer eCommerce
Menurut sebuah report dari E&Y Consulting, perkembangan kedua jenis eCommerceini dapat dilihat pada tabel berikut. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa perkembangan Business to Business lebih pesat daripada Business to Consumer. Itulah sebabnya banyak orang mulai bergerak di bidang Business-to-business. Meskipun demikian, Business-to-Consumer masih memiliki pasar yang besar yang tidak dapat dibiarkan begitu saja. Tingginya PC penetration (teledensity) menunjukkan indikasi bahwa banyak orang yang berminat untuk melakukan transaksi bisnis dari rumah. Negara yang memiliki indikator PC peneaion yang tinggi mungkin dapat dianggap sebagai negara yang lebih siap untuk melakukan eCommerce.
Business to Business eCommerce umumnya menggunakan mekanisme Electronic Data Interchange (EDI). Sayangnya banyak standar EDI yang digunakan sehingga menyulitkan interkomunikasi antar pelaku bisnis. Standar yang ada saat ini antara lain: EDIFACT, ANSI X.12, SPEC 2000, CARGO-IMP, TRADACOMS, IEF, GENCOD, EANCOM, ODETTE, CII. Selain standar yang disebutkan di atas, masih ada formatformat lain yang sifatnya proprietary. Jika anda memiliki beberapa partner bisnis yang sudah menggunakan standar yang berbeda, maka anda harus memiliki sistem untuk melakukan konversi dari satu format ke format lain. Saat ini sudah tersedia produk yang dapat melakukan konversi seperti ini. Pendekatan lain yang sekarang cukup populer dalam standarisasi pengiriman data adalah dengan menggunakan Extensible Markup Language (XML) yang dikembangkan oleh World Wide Web Consortium (W3C). XML menyimpan struktur dan jenis elemen data di dalam dokumennya dalam bentuk tags seperti HTML tags sehingga sangat efektif digunakan untuk sistem yang berbeda. Kelompok yang mengambil jalan ini antara lain adalah XML/EDI group (www.xmledi.net). Yang memiliki karakteristik sebagai berikut: Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan ke umum.
Servis yang diberikan bersifat umum (generic). Dengan mekanisme yang dapat digunakan oleh khalayak ramai. Sebagai contoh, karena sistem Web sudah umum digunakan maka servis diberikan dengan menggunakan basis Web.

Servis diberikan berdasarkan permohonan (on demand). Konsumer melakuka inisiatif dan produser harus siap memberikan respon sesuai dengan permohonan. Pendekatan client/server sering digunakan dimana diambil asumsi client (consumer) menggunakan sistem yang minimal (berbasis Web) dan processing (business procedure) diletakkan di sisi server.
Topik yang juga mungkin termasuk di dalam business-to-business eCommerce adalah electronic/Internet procurement dan Enterprise Resource Planning (ERP). Hal ini adalah implementasi penggunaan teknologi informasi pada perusahaan dan pada manufakturing. Sebagai contoh, perusahaan Cisco maju pesat dikarenakan menggunakan teknologi informasi sehingga dapat menjalankan just-in-time manufacturing untuk produksi produknya.


2.3. Sistem Antar Organisasi (IOS)
Suatu IOS (Interorganizational System/Sistem Antar-Organisasi), kadang-kadang disebut system informasi antar-organisasi, adalah suatu kombinasi perusahaan-perusahaan yang terkait sehingga mereka berfungsi sebagai suatu system tunggal; mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Perusahaan-perusahaan yang membentuk IOS disebut mitra dagang atau mitra bisnis.


2.3.1.  Manfaat IOS (Intra Organizational system)
Manfaat IOS terbagi kedalam dua kategori yaitu efisiensi komparatif dan kekuatan tawar-menawar.
Efisiensi Komparatif : Dengan bergabung Dalam IOS, para mitra dagang dapat menyediakan barang dan jasa mereka dengan biaya yang lebih murah daripada pesaing mereka
Kekuatan Tawar-menawar : Kemampuan sutu perusahaan untuk menyelesaikan perselisihan dengan pemasok dan pelanggannya yang menguntungkan dirinya disebut kekuatan tawar menawar (bargaining power). Kekuatan itu berasal dari tiga metode dasar dengan menawarkan keistimewaan produk yang unik, dengan mengurangi biaya yang berhubungan dengan pencarian, dan dengan meningkatkan biaya peralihan.
Kekuatan tawar menawar, kemampuan suatu perusahaan untuk menyelesaikan perselisihan dengan pemasok dan pelanggan yang menguntungkan dirinya. Kekuatan itu berasal dari tiga metode dasar :
Keistimewaan Produk yang unik : hubungan elektronik IOS memungkinkan perusahaan menawarkan pelayanan yang lebih baik bagi pelanggan dalam bentuk pesanan yang lebih rendah, yang lebih cepat, dan waktu respon atas permintaan informasi yang lebih cepat
Penurunan biaya yang berhubungan dengan pencarian : dengan menjadi bagian suatu IOS, perusahaan dapat mengurangi biaya-biaya berbelanja yang dialami pelanggannya dalam mencari pemasok.
Peningkatan biaya peralihan.

2.4. Pertukaran Data Elektronik (EDI)
Pertukaran data elektronik (bahasa inggris: EDI atau Electronic Data Interchange, juga Electronic Document Interchange) adalah proses transfer data yang terstruktur, dalam format standar yang disetujui, dari satu sistem komputer ke sistem komputer lainnya, dalam bentuk elektronik.
Istilah ini umumnya dipakai dalam konteks perdagangan dan bisnis, khususnya perdagangan elektronik atau e-dagang. Biasanya digunakkan oleh perusahaan-perusahaan dalam memudahkan proses pertukaran data transaksi yang berulang-ulang antar perusahaan. EDI sangat bergantung kepada pengembangan format standar untuk dokumen-dokumen bisnis seperti faktur, pesanan pembelian, dan surat tanda terima. Harus ada persetujuan dari pelaku-pelaku bisnis yang terkait dan pengakuan di tingkat nasional maupun internasional untuk dapat menggunakan format-format standar ini dan mentransmisikan data secara elektronik

2.4.1. Standar EDI
Kunci dari aplikasi EDI terletak pada kodifikasi dan strukturisasi data menjadi sebuah format yang umum dan disetujui. Proses kodifikasi dan strukturisasi dokumen-dokumen untuk transaksi bisnis tidaklah sederhana. Standar EDI dikembangkan di berbagai sektor industri, dalam berbagai negara, dan prosesnya dipengaruhi oleh struktur-struktur komite dan prosedur yang rumit. Berikut adalah beberapa contoh standar EDI: EDIFACT (dirancang oleh PBB), BACS (digunakkan dalam Britania Raya), ODETTE (digunakkan dalam industri otomotif Eropa), ANSI X12 (digunakkan dalam berbagai sektor bisnis di Amerika Utara).



2.4.2. Tingkat penerapan EDI.
Tiga tingkat penggunaan yang berbeda, yaitu :
Pemakai tingkat satu, hanya satu atau dua set transaksi yang ditransmisikan ke sejumlah mitra dagang yang terbatas.
Pemakai tingkat dua, banyak set transaksi yang ditransmisikan ke sejumlah mitra dagang, melampaui lini industri.
Pemakai tingkat tiga, bukan Cuma banyak set transaksi yang ditransmisikan ke banyak mitra dagang, tetapi aplikasi computer perusahaan disesuaikan dengan pendekatan EDI.
Tujuan tingkat satu dan dua adalah mengubah dokumen kertas menjadi elektronik. Adapun pengaruh dari penerapan EDI, diantaranya :
Tekanan Pesaing.
Kekuasaan yang dilaksanakan.
Kebutuhan Intern
Dukungan manajemen puncak.

2.4.3. Manfaat EDI
Pemanfaatan EDI di Indonesia nampaknya masih belum mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan. Masih sangat jarang yang memanfaatkan system ini sebagai salah satu komponen teknologi informasi. Definisi EDI sendiri ialah pertukaran data secara elektronik antar perusahaan dengan menggunakan format data standar yang telah disepakati bersama. Padahal dengan EDI ini perusahaan akan lebih mudah dalam melakukan pertukaran data baik didalam internal organisasi ataupun dengan pihak stakeholder. Berikut ini ialah keuntungan yang akan didapatkan organisasi jika menerapkan EDI.
Penghematan waktu. Pada dasarnya EDI menggantikan transaksi yang menggunakan kertas menjadi transaksi berbasis elektronik. Hal ini telah menghemat waktu yang tadinya dialokasikan untuk menulis, mencetak, dan pengiriman melalui jasa pos.
Penghematan biaya. Biaya untuk membayar peralatan, prangko, jasa pos, pegawai dan petugas dapat dikurangi karena sistem EDI telah menyederhanakan semua ini ke dalam sebuah urutan yang sistematis dan otomatis.
Minimalisasi kesalahan. Kesalahan yang sering terjadi dalam pekerjaan manual biasa terjadi karena bekerja menggunakan kertas dilakukan oleh manusia, sedangkan sistem EDI adalah sistem yang berbasis komputer sehingga kesalahan dalam proses pertukaran informasi dapat dikurangi oleh kalkulasi komputer.
Respon yang cepat. Cara pemesanan tradisional yang menggunakan kertas membutuhkan waktu berhari-hari untuk dokumen-dokumen transaksi mencapai tujuan pengirimannya. Waktu dalam penungguan ini sebenarnya mempunyai nilai yang cukup berarti bagi para pelaku bisnis. Sistem EDI yang menggunakan bentuk elektronik dalam proses pengiriman dapat dalam sekejap mengirimkan dokumen-dokumen transaksi kepada para pelaku bisnis sehingga mereka mempunyai waktu yang lebih banyak untuk menentukan manuver-manuver bisnis.
Aliran kas. Siklus dalam perdagangan menjadi lebih cepat seiring mempercepatnya proses pesanan dan pengiriman yang juga memengaruhi kecepatan pembayaran. Bertambah cepatnya pembayaran akan berdampak pada meningkatnya arus kas.
Peluang dalam bisnis. Jumlah pelanggan meningkat dan mereka biasanya hanya akan berbisnis dengan pemasok yang menggunakan EDI. Persaingan pun meningkat dalam memulai bisnis baru karena adanya penggunaan EDI. Industri supermarket dan perakit kendaraan merupakan contoh bisnis yang banyak menggunakan EDI dalam kemitraannya.

2.5. Teknologi Perdagangan melalui jaringan elektronik

Dijaman sekarang ini yang serba modern perdagangan pun mengikuti jamannya. Perdagangan yang dahulu hanya berpusat dipasar sekarang merambah ke dunia elektronik. Ketika para eksekutif bisnis masa kini mengembangkan rencana bisnis strategis untuk perusahaan mereka, mereka memilih pilihan yang tidak tersedia beberapa tahun lalu. Perusahaan-perusahaan dapat ikut serta dalm perdagangan melalui jaringan elektronik (elektronic commerce) – penggunaan komputer sebagai alat utama untuk melakukan operasi bisnis dasar. Perusahaan ikut serta dalam perdagangan melalui jaringan elektronik untuk berbagai alasan, tetapi tujuan utamanya adalah keunggulan kompetitif.
Kita mendefinisikan perdangan melalui jaringan elektronik sebagai penggunaan komputer untuk memudahkan semua operasi perusahaan (definisi sempit : hanya mencakup transaksi bisnis yang berhubungan dengan pelanggan dan pemasok).
Perusahaan-perusahaan atau organisasi yang ikut serta dalam perdagangan melalui jaringan elektronik untuk mencapai perbaikan di seluruh orgnaisasi. Perbaikan tersebut diharapkan menghasilkan tiga (3) manfaat utama :
• Pelayanan pelanggan meningkat.
• Hubungan dengan pemasok & masyarakat keuangan meningkat.
• Pengembalian atas investasi pemegang saham dan pemilik yang meningkat.
Manfaat-manfaat tersebut berkontribusi pada stabilitas keuangan perusahaan dan memungkinkannya untuk bersaing dengan lebih baik dalam dunia bisnis yang semakin terikat untuk menggunakan teknologi komputer.
Perdagangan melalui jaringan elekronik dapat didefenisikan dengan sangat sempit dapat dikatakan hanya mencakup transaksi bisnis yang berhubungan dengan pelanggan dan pemasok, dan sering digambarkan dalam internet, seolah-olah tidak ada alternatif komunikasi lain.Kita mengambil pandangan yang jauh lebih luas. Kita mendefenisikan perdangan melalui jaringan elektronik sebagai pengguna komputer untuk memudahkan semua operasi perusahaan. Transaksi bisnis yang menggunakan akses jaringan, sistem berbasis komputer, dan jaringan internet.






BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
Pada artikel di atas kesimpulan yang dapat saya ambil adalah perdagangan yang berkenaan antara perusahaan dan konsumen sebagai pemakai akhir serta perdagangan yang melibatkan antara perusahaan dan perusahaan yang tidak melibatkan pemakai akhir. dengan perdagangan melalui jaringan elektronik dapat meningkatkan pelayanaan yang lebih baik . Namun perdagangan sistem ini memiliki beberapa kendala antara lain biaya yang tingggi dan masalah keamanan.
Perkembangan internet berdampak pada perubahan cara organisasi merancang, memproses, memproduksi, memasarkan, dan menyampaikan produk. Lingkup persaingan yang semakin luas juga menuntut integrasi dan koordinasi anatara departemen sistem informasi, pemasaran, layanan pelanggan, dan departemen-departemen lainnya dalam organisasi.
Menciptakan saluran distribusi baru yang bisa menjangkau lebih banyak pelanggan di hampir semua belahan dunia

SARAN
Dalam melakukan perdagangan sebaiknya perusahaan juga mengatasi berbagai kendala yang timbul, terutama dalam masalah keamanan yang bila masalah ini tidak segera teratasi maka akan berdampak pada kepercayaan konsumen.














DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Pertukaran_data_elektronik
http://denyoklex.blogspot.com/2009/10/tugas-makalah-e-commerce.html
http://www.blogster.com/eko-indrajit/mekanisme-electronic-commerce-dalam-dunia-bisnis
http://ukiehary.wordpress.com/2010/10/31/teknologi-perdagangan-melalui-jaringan-elektronik/
http://wawannurjuniawan.blogspot.com/feeds/posts/default?orderby=updated






Rabu, 04 Mei 2011

kepemimpinan dalam perusahaan

kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari :
  1. Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
  2. Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
  3. Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
  4. Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
  5. Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpinadalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
    Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda. Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.




ISI
A. Kepemimpinan, Karakteristik Pekerjaan dan Kepuasan Kerja
Sukses tidaknya suatu organisasi sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusia yang dimiliki karena sumber daya manusia yang berkualitas adalah sumber daya manusia yang mampu berprestasi maksimal. Kepuasan kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja karyawan, ketika seorang karyawan merasakan kepuasan dalam bekerja maka seorang karyawan akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugasnya, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan.
Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik manager-pekerja dan perputaran karyawan. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Kepuasan dapat dirumuskan sebagai respon umum pekerja berupa perilaku yang ditampilkan oleh karyawan sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Seorang pekerja yang masuk dan bergabung dalam suatu organisasi mempunyai seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat dipenuhi di tempatnya bekerja. Kepuasan kerja ini akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja dan kenyataan yang didapatkan ditempat bekerja. Persepsi pekerja mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kepuasan kerja melibatkan rasa aman, rasa adil, rasa menikmati, rasa bergairah, status dan kebanggaan. Dalam persepsi ini juga dilibatkan situasi kerja pekerja yang bersangkutan yang meliputi interaksi kerja, kondisi kerja, pengakuan, hubungan dengan atasan, dan kesempatan promosi. Selain itu di dalam persepsi ini juga tercakup kesesuaian antara kemampuan dan keinginan pekerja dengan kondisi organisasi tempat bekerja yang meliputi jenis pekerjaan, minat, bakat, penghasilan dan insentif.
Menurut Locke dalam Munandar (2001:350) tenaga kerja yang puas dengan pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya. Keyakinan bahwa karyawan yang terpuaskan akan lebih produktif daripada karyawan yang tak terpuaskan merupakan suatu ajaran dasar diantara para manajer selama bertahun-tahun (Robbins, 2001:26).
Menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko (2001:196) kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran kerja yang lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang berprestasi bekerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan kerja perusahaan.
Kepuasan kerja merupakan hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Dengan kata lain kepuasan mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu karakteristik pekerjaan, gaji, penyeliaan, rekan-rekan sejawat yang menunjang dan kondisi kerja yang menunjang. (Munandar, 2001:357).
Peningkatan kepuasan kerja karyawan pada suatu organisasi tidak bisa dilepaskan dari peranan pemimpin dalam organisasi tersebut, kepemimpinan merupakan kunci utama dalam manajemen yang memainkan peran penting dan strategis dalam kelangsungan hidup suatu perusahaan, pemimpin merupakan pencetus tujuan, merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengendalikan seluruh sumber daya yang dimiliki sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya (Handoko, 2001 : 291). Oleh sebab itu pemimpin suatu organisasi perusahaan dituntut untuk selalu mampu menciptakan kondisi yang mampu memuaskan karyawan dalam bekerja sehingga diperoleh karyawan yang tidak hanya mampu bekerja akan tetapi juga bersedia bekerja kearah pencapaian tujuan perusahaan. Mengingat perusahaan merupakan organisasi bisnis yang terdiri dari orang-orang, maka pimpinan seharusnya dapat menyelaraskan antara kebutuhan-kebutuhan individu dengan kebutuhan organisasi yang dilandasi oleh hubungan manusiawi (Robbins, 2001:18). Sejalan dengan itu diharapkan seorang pimpinan mampu memotivasi dan menciptakan kondisi sosial yang menguntungkan setiap karyawan sehingga tercapai kepuasan kerja karyawan yang berimplikasi pada meningkatnya produktivitas kerja karyawan.
Karakteristik pekerjaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, model karakteristik pekerjaan (job characteristics models) dari Hackman dan Oldham (1980) adalah suatu pendekatan terhadap pemerkayaan jabatan (job enrichment) yang dispesifikasikan kedalam 5 dimensi karakteristik inti yaitu keragaman ketrampilan (skill variety), Jati diri dari tugas (task identity), signifikansi tugas (task significance), otonomi (autonomy) dan umpan balik (feed back). Setiap dimensi inti dari pekerjaan mencakup aspek besar materi pekerjaan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, semakin besarnya keragaman aktivitas pekerjaan yang dilakukan maka seseorang akan merasa pekerjaannya semakin berarti. Apabila seseorang melakukan pekerjaan yang sama, sederhana, dan berulang-ulang maka akan menyebabkan rasa kejenuhan atau kebosanan. Dengan memberi kebebasan pada karyawan dalam menangani tugas-tugasnya akan membuat seorang karyawan mampu menunjukkan inisiatif dan upaya mereka sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan, dengan demikian desain kerja yang berbasis ekonomi ini merupakan fungsi dan faktor pribadi. Kelima karakteristik kerja ini akan mempengaruhi tiga keadaan psikologis yang penting bagi karyawan, yaitu mengalami makna kerja, memikul tanggung jawab akan hasil kerja, dan pengetahuan akan hasil kerja. Akhirnya, ketiga kondisi psikologis ini akan mempengaruhi motivasi kerja secara internal, kualitas kinerja, kepuasan kerja dan ketidakhadiran dan perputaran karyawan.
Karakteristik pekerjaan seorang karyawan jelas terlihat desain pekerjaan seorang karyawan. Desain pekerjaan menentukan bagaimana pekerjaan dilakukan oleh karena itu sangat mempengaruhi perasaan karyawan terhadap sebuah pekerjaan, seberapa pengambilan keputusan yang dibuat oleh karyawan kepada pekerjaannya, dan seberapa banyak tugas yang harus dirampungkan oleh karyawan.
Rendahnya kepuasan kerja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti mangkir kerja, mogok kerja, kerja lamban, pindah kerja dan kerusakan yang disengaja. Karyawan yang tingkat kepuasannya tinggi akan rendah tingkat kemangkirannya dan demikian sebaliknya, organisasi-organisasi dengan karyawan yang lebih terpuaskan cenderung lebih efektif dari pada organisai-organisasi dengan karyawan yang tak terpuaskan sehingga dapat meningkatkan produktivitas organisasi dan salah satu penyebab timbulnya keinginan pindah kerja adalah kepuasan pada tempat kerja sekarang. (Robbins 2001).
B. Hubungan Kepemimpinan dengan Kepuasan Kerja Karyawan
Mengingat perusahaan merupakan organisasi bisnis yang terdiri atas orang-orang, maka pimpinan seharusnya dapat menyelaraskan antara kebutuhan-kebutuhan individu dengan kebutuhan organisasi yang dilandasi oleh hubungan manusiawi. Sejalan dengan itu diharapkan seorang pimpinan mampu memotivasi dan menciptakan kondisi sosial yang menguntungkan setiap karyawan sehingga tercapainya kepuasan kerja karyawan yang berimplikasi pada meningkatnya produktivitas kerja karyawan (Robbins, 2002 : 181).
Mengingat perusahaan merupakan organisasi bisnis yang terdiri atas orang-orang, maka pimpinan seharusnya dapat menyelaraskan antara kebutuhan-kebutuhan individu dengan kebutuhan organisasi yang dilandasi oleh hubungan manusiawi. Sejalan dengan itu diharapkan seorang pimpinan mampu memotivasi dan menciptakan kondisi sosial yang menguntungkan setiap karyawan sehingga tercapainya kepuasan kerja karyawan yang berimplikasi pada meningkatnya produktivitas kerja karyawan (Robbins, 2002 : 181).
Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya kepuasan dapat ditingkatkan, bila atasan bersifat ramah dan memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka (Robbins, 2002 : 181).
Partisipasi dalam pengambilan keputusan kepemimpinan khususnya pada kepemimpinan demokratis akan mempunyai dampak pada peningkatan hubungan manajer dengan bawahan, menaikkan moral dan kepuasan kerja serta menurunkan ketergantungan terhadap pemimpin (Supardi, dkk, 2002 : 76). Dengan demikian dapat dikatakan kepemimpinan sangat erat hubungannya dengan kepuasan kerja karyawan. Kepemimpinan yang memperoleh respon positif dari karyawan cenderung akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan, demikian bila terjadi sebaliknya.
C. Model Karakteristik Pekerjaan (Job characteristics models)
Dalam Simamora, (2004:129) model karakteristik pekerjaan (Job characteristics models) merupakan suatu pendekatan terhadap pemerkayaan pekerjan (job enrichment). Program pemerkayaan pekerjaan (job enrichment) berusaha merancang pekerjaan dengan cara membantu para pemangku jabatan memuaskan kebutuhan mereka akan pertumbuhan, pengakuan, dan tanggung jawab. Pemerkayaan pekerjaan menambahkan sumber kepuasan kepada pekerjaan. Metode ini meningkatkan tanggung jawab, otonomi, dan kendali. Penambahan elemen tersebut kepada pekerjaan kadangkala disebut pemuatan kerja secara vertikal (vertical job loading). Pemerkayaan pekerjaan (job enrichment) itu sendiri merupakan salah satu dari teknik desain pekerjaan,
Dalam Samuel, (2003:75) dikatakan bahwa pendekatan klasik tentang desain pekerjaan yang diajukan Hackman dan Oldham (1980) dikenal dengan istilah teori karakteristik pekerjaan (job characteristics theory).
Menurut teori karakteristik pekerjaan ini, sebuah pekerjaan dapat melahirkan tiga keadaan psikologis dalam diri seorang karyawan yakni mengalami makna kerja, memikul tanggung jawab akan hasil kerja, dan pengetahuan akan hasil kerja. Akhirnya, ketiga kondisi psikologis ini akan mempengaruhi motivasi kerja secara internal, kualitas kinerja, kepuasan kerja, ketidakhadiran dan perputaran karyawan. Keadaan psikologis kritis ini dipengaruhi oleh dimensi inti dari sebuah pekerjaan yang terdiri dari keragaman keahlian, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi tugas dan umpan balik.
Menurut Munandar (2001:357) ada lima ciri-ciri intrinsik pekerjaan yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan. Kelima ciri intrinsik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Keragaman ketrampilan (skill variety)
Banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam ketrampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan.
2. Jati diri tugas(task identity)
Tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri menimbulkan rasa tidak puas.
3. Tugas yang penting (task significance)
Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja.
4. Otonomi
Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja.
D. Ciri - Ciri Manajemen Puncak yang Berhasil
Menurut Bennis dan Nanus (1985) paling tidak seorang manajer yang berhasil harus memiliki 4 (empat) macam ketrampilan (penelitian dilakukan terhadap 90 pemimpin yang kesemuanya adalah manajer puncak/chief executife officer :
1. Attention through vision.
Pemimpin harus mempunyai sebuah Visi atau bayangan usaha mereka di masa depan. Melalui bayangan ini mereka didesak untuk mendapatkan hasil.
Bennis dan Nanus mengatakan : "The visions the various leaders conveyed seemed to bring about a confidence on the part of the employees, a confidence that instilled in them a belief that they were capable of performing the necessasy acts"
2. Meaning throught communication.
Bayangan masa depan usaha dari pemimpin harus dapat dikomunikasikan oleh pemimpin kepada bawahannya. Komunikasi ini sangat jelas dan rinci


3. Trust throught positioning
Jika visi telah dikomunikasikan, maka visi perlu diimplementasikan. possotioning merupakan perangkat tindakan yang diperlukan untuk mengimplementasikan visi dari pemimpin. Melalui penetapan kedudukannya , kepemimpinan memntapkan kepercayaan. untuk mendapatkan kepercayaan dari para pengikutnya pemimpin harus berprilaku konsisten dan tetap berada pada jalur yang telah disepakati.
3. The Deployment of self throught positive self-regard and through the Wallenda faktor.
Faktor utama dari pemimpin yang berhasil adalah perluasan kreatif dari diri, yang dapat dilakukan dengan menghargai diri secara positif. Menurut Bennis dan Nanus menghargai diri secara positif bukan merupakan pemusatan pada diri yang egoistik, melainkan terdiri dari tiga komponen utama yaitu : pengetahuan tentang kekuatan-kekuatannya; kemampuan untuk merawat dan mengembangkan kekuatan-kekuatan tersebut; Kemampuan untuk secara tajam dapat melihat perbedaan kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi.
Perluasan diri memalui faktor walenda ini pada hakikatnya berarti bahwa dalam melakukan berbagai macam hal kita harus memusatkan perhatian pada apa yang akan dilakukan dan tidak memikirkan tentang kemungkinan akan kegagalan. Karl Walenda adalah seorang akrobat yang berjalan diatas tali yang dapat saja meninggal setiap saat ketika ia berjalan diatas tali pada ketinggian tertentu. ia tidak pernah memikirkan akan kegagalan. Pada tahun 1978 ia terjatuh dan meninggal. istrinya ingat bahwa pada hari itu untuk pertama kali Wallenda berpikir tentang kegagalan. Rupanya ia mencurahkan seluruh tenaganya pada usaha untuk tidak jatuh dan bukan untuk berjalan di atas tali.

Selasa, 15 Maret 2011

TUGAS SOFTSKILL budaya organisasi

BAB 1
Budaya organisasi adalah satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implicit
oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan , dan
bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam. Budaya merefleksikan nilai-nilai
dan keyakinan yang dimiliki oleh anggota organisasi. Nilai-nilai tersebut cenderung
berlangsung dalam waktu lama dan lebih tahan terhadap
perubahan. sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang
membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama
ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.
Perspektif Budaya Organisasi
DEWASA ini istilah budaya tidak hanya jadi trend dan mempesonakan, tetapi juga
dipandang membantu kebanyakan orang dalam membuat perbandingan antara aspekaspek
simbolik suatu budaya dan aspek-aspek simbolik sebuah organisasi. Menurut
Suryadi (2003:109) munculnya perhatian yang tinggi terhadap konsep budaya organisasi
(organizational culture) tampaknya dilatarbelakangi oleh perasaan kecewa para ahli
terhadap teori-teori rasional (objektif) dalam meramalkan perilaku. Teori-teori tersebut
dipandang hanya menjelaskan kulit luar organisasi tetapi tidak menyinggung jiwa
organisasi (aspek simbolik di dalam organisasi). Reaksi terhadap teori-teori rasional
tradisional akhirnya mendorong suatu perubahan ke arah konsep budaya. Namun
demikian, pendekatan kebudayaan tidak dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap
dominasi objectivistic, positivistic, dan functionalistic dalam teori organisasi dan
manajemen. Kehadirannya semata-mata sebagai pelengkap (salah satu variabel) dalam
rangka memprediksi dan pengendalian organisasi disamping pendekatan yang ada
selama ini.
Pace dan Faules, (1994:91) menjelaskan, dalam diskursus teori-teori ilmu sosial,
fenomena budaya dapat ditelaah dalam perspektif objektif maupun subjektif. Asumsi
sederhananya adalah bahwa manusia mengalami keberadaan objek-objek yang bersifat
fisik yang membentuk realitas, namun diyakini juga bahwa manusia menciptakan
pengalaman yang dimilikinya bersama orang lain dan objek-objek. Jika ditelaah dalam
perspektif objektif, kebudayaan sebagai realitas sosial dipandang sebagai suatu
komponen dari sistem sosial, dimana kedua-duanya terintegrasi ke dalam suatu sistem
“sosio-budaya” . Perspektif ini melahirkan kebudayaan sebagai suatu yang bersifat fisik
dan konkret yang melekat pada sistem sosial masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
batas-batas yang pasti dalam sistem sosial. Sebaliknya jika ditelaah dari perspektif
subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-teori dunia para anggotanya, yakni makna,
lambang dan nilai-nilai yang dimiliki bersama. Dunia kebudayaan dan dunia sosial dilihat
sebagai sesuatu yang berbeda tetapi berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu
masyarakat dapat berkembang secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses
formalnya. Inti kajiannya terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan
peristiwa dalam masyarakat. Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam dari
peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu yang menjadi latar belakang disamping yang
bersifat instrumental.
Adanya dikotomi perspektif budaya sebagaimana diuraikan di atas, menurut Alvesson dan
Berg (1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali menimbulkan kerancuan
dalam studi dan pembahasan tentang budaya organisasional. Karena itu, dalam konteks
penelitian pemahaman terhadap pendekatan atau teori mana yang akan digunakan
menjadi penting. Mengingat, bagaimana budaya organisasi dikonsepsikan akan
berpengaruh kepada bagaimana budaya organisasi didefinisikan.
Menurut Sackman (1991:90) terdapat tiga perspektif utama dalam memandang budaya
organisasi, yaitu 1) perspektif holistik, 2) perspektif variabel, dan 3) perspektif kognitif.
Perspektif holistik memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir,
menggunakan perasaan dan bereaksi. Perspektif variabel penekanannya pada
pengekpresian budaya. Sedangkan perspektif kognitif memberi penekanan kepada
keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, pengetahuan yang diorganisasikan yang ada
dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas. Dalam perspektif kognitif ini, esensi
budaya adalah konstruksi bersama mengenai realitas sosial.
Menurut Suryadi (2003:112), ada tiga implikasi penting yang dapat ditangkap dari
pendekatan budaya terhadap teori-teori organisasi dan manajemen. Pertama, munculnya
paradigma baru dalam memandang fungsi-fungsi manajemen, khususnya yang berkaitan
dengan fungsi kepemimpinan (manajer). Dimana, kepemimpinan harus dipahami sebagai
orang yang mendefinisikan makna dan menciptakan pandangan tentang realitas
organisasi melalui pengikutsertaan anggota organisasi dalam pemberian makna tersebut
pada kegiatan organisasi. Karena itu, seyogianya pemimpin yang baik itu tidak hanya
menciptakan profit bagi organisasi, tetapi menciptakan pula makna bagi para anggota
organisasi. Sayang sekali para manajer sering lupa untuk menggandengkan keduaduanya
dalam porsi yang seimbang. Kedua, berkaitan dengan pertanyaan heuristik
mengenai apa yang dapat dipelajari tentang organisasi melalui pendekatan budaya yang
luput dari perhatian teori-teori tradisional (objektif) tentang organisasi dan manajemen.
Ketiga berkaitan dengan pertanyaan pragmatis tentang fungsi budaya yang diperkirakan
dapat memberikan sumbangan positif terhadap kehidupan organisasi. Karena itu,
sejauhmana nilai guna dan sumbangan pendekatan budaya dalam memahami kehidupan
organisasi masih perlu diuji secara empirik. Kenyataannya di Indonesia pada umumnya
menunjukkan bahwa berbagai perubahan untuk menciptakan strategi bisnis baru sesuai
dengan tuntutan perubahan, apabila sudah menyentuh dimensi sistem nilai, asumsi dasar,
kepercayaan, dan konsepsi, seringkali sistem nilai, asumsi, kepercayaan, dan konsepsi
lama masih dominan.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang
diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam
keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu
dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan.
Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang
menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu,
budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam
memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut beberapa ahli :
a. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya
organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi
dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
b. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya
organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola
tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
c. Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
d. Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh
organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang
mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.
Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai
suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
e. Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai
organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dancara para karyawan
berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam
penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang
kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.
Tujuan penerapan budaya organisasi adalah agar seluruh individu dalam perusahaan
atau organisasi mematuhi dan berpedoman pada system nilai keyakinan dan normanorma
yang berlaku dalam perusahaan atau organisasi tersebut.
Menurut Taliziduhu Ndraha (1997:65) mengemukakan bahwa: “budaya organisasi sebagai
input terdiri dari pendiri organisasi, pemilik organisasi, sumber daya manusia, pihak yang
berkepentingan, dan masyarakat.
Ada tiga tingkatan dalam menganalisis budaya organisasi, yaitu:
1. Budaya organisasi yang tampak (observable culture)
2. Nilai-nilai yang dikontribusikan (shared values), dan
3. Asumsi-asumsi umum, seperti yang dikemukakan oleh John R.Schermerhorn, James
G.Hunt, dan Richard N.Osborn (1991: 341)
Menurut Edgar H.Schein, tingkat pertama dari analisis budaya organisasi adalah faktafakta
seni, ciptaan-ciptaan, teknologi, seni dan bentuk-bentuk perilaku yang tampak serta
dapat didengar. Adapun tingkat analisis kedua adalah kesadaran terhadap nilai-nilai yang
berlaku dan tingkat analisis ketiganya adalah asumsi-asumsi dasar, hubungan dengan
lingkungan, kenyataan dan kebenaran, aktivitas manusia serta hubungan manusia.
BAB 2
BUDAYA ORGANISASI DAN UNSUR-UNSURNYA (At a Glance)
Pengertian Budaya Organisasi
Keith Davis dan John W.Newstrom (1989:60) mengemukakan bahwa: “ organizational
culture is the set of assumptions, beliefs, values, and norm that is shared among its
member ”. Lebih lanjutJohn R Schermerhorn dan James G. Hunt (1991:340)
mengemukakan bahwa “ organizational culture is the system of shared beliefs and values
that develops within an organization and guides the behavior of its member ”. Sedangkan
Edgar h.Schein (1992: 21) berpendapat bahwa: “ An organization’s culture is a pattern of
basic assumptions invented, discovered or developed by a given groups as it learns to
cope with is problems of external adaptation and internal integration that has worked well
enough to be considered valid and to be taugh to new members as the coorect way to
perceive, think and feel in relation to these problems.
Menurut Vijay Sathe: “Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki
bersama anggota masyarakat.
Berdasarkan pendapat tadi dapat disimpulkan bahwa pengertian budaya organisasi
adalah seperangkat asumsi atau system keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma yang
dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggotaanggotanya
untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Karakteristik dan Unsur-unsur Budaya Organisasi
Fred Luthans (1989:50) berpendapat bahwa: “organizational culture has a member of
important characteristics. Some of the most readily agreed upon are the following:
observed behavioral regulities, norms, dominant, values, philosophy, and organizational
climate”.
Stephen P.Robbins (1992:253) mengemukakan sebagai berikut: There appear to be ten
characteristic that whwn mixed and mached, expose the essence of an organizations
culture: individual initiative, risk tolerance, direction, integration, management support,
control, identity, reward system, conflict tolerance and communication patterns”.
Berdasarkan pendapat Fred Luthans dan Stepen P. Robbins dapat dikemukakan bahwa
pelaksanaan budaya organisasi dapat dikaji dari karakteristik budaya organisasi, yaitu:
1. Perilaku individu yang tampak.
2. Norma-norma yang berlaku dalam organisasi.
3. Nilai-nilai yang dominan dalam kehidupan organisasi.
4. Falsafah manajemen.
5. Peraturan-peraturan yang berlaku.
6. Iklim organisasi.
7. Inisiatif individu organisasi.
8. Toleransi terhadap resiko.
9. Pengarahan pimpinan/manajemen.
10. Integrasi kerja.
11. Dukungan manajemen.
12. Pengawasan kerja.
13. Identitas individu organisasi.
14. Sistem penghargaan terhadap prestasi kerja.
15. Toleransi terhadap konflik, dan
16. Pola komunikasi kerja.
Menurut Susanto, unsur-unsur budaya organisasi adalah: lingkungan usaha, nilai-nilai,
kepahlawanan, upacara, dan jaringan cultural. Menurut Daniel R.Denison, unsure-unsur
budaya organisasi, adalah: asumsi dasar, seperangkat nilai dan keyakinan yang dianut,
pemimpin, pedoman mengatasi masalah, berbagai nilai pewarisan, acuan perilaku, citra
dan brand yang khas, dan adaptasi.
Menurut Philiph Selnick, unsure-unsur budaya organisasi adalah: kumpulan orang,
kerjasama, tujuan bersama, system koordinasi, pembagian tugas dan tanggungjawab, dan
sumber daya organisasi. Sedangkan menurut Edgar H.Schein, unsure-unsur budaya
organisasi adalah: Ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, modal, humum, adat-istiadat,
perilaku/kebiasaan masyarakat, asumsi dasar, system nilai, pembelajaran, dan masalah
adaptasi eksternal dan internal.
Tipe Budaya Organisasi
Kotter dan Heskett (1992:15-49), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang
dilakukannya, mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya
lemah, budaya yang secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif.
Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992:16) menyatakan bahwa nilainilai,
norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para
anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu
kerja lebih keras, kohesivitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan
mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara
kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu 1) penyatuan
tujuan. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai cenderung melakukan
tindakan ke arah yang sama. 2) menciptakan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa
dalam diri pegawai, dan 3) memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus
bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992:22) menjelaskan
pentingnya kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan
dimana perusahaan itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan
selaras dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen
industrinya yang dispesifikasikan oleh strategi perusahaan atau strategi bisnisnya.
Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka semakin baik kinerjanya, sebaliknya
semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya.
Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya
yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi
apapun.
Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan organisasi tidak
pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada
kurun waktu tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya
organisasi harus selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari
lingkungan. Karena itulah, Kotter dan Heskett mengajukan tipe budaya adaptif dan tidak
adaptif.
Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Kotter dan Heskett (1992:33) menjelaskan bahwa
hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan
perubahan lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode
waktu yang panjang. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap
adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Makna terpenting
dari hasil penelitian pada teori ketiga ini adalah bahwa perusahaan yang budayanya
adaptif secara ideal para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya menampakkan
kepemimpinan yang mempelopori perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja
diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan, dan para
pegawainya. Sedangkan perusahaan yang budayanya tidak adaptif para manajer pada
seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan politis untuk
melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya. Perbedaan
budaya adaptif dan tidak adaptif dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Budaya Organisasi yang Adaptif dan Tidak Adaptif
Budaya Adaptif Budaya Tidak Adaptif
Nilai Inti
Kebanyakan manajer sangat
peduli akan pelanggan,
pemegang saham, dan
pegawainya. Mereka juga sangat
menghargai orang dan proses
yang dapat menciptakan
perubahan yang bermanfaat
(misalnya kepemimpinan ke atas
dan ke bawah pada hirarki
manajemen)
Kebanyakan manajer
memperdulikan terutama diri
mereka sendiri, kelompok kerja
terdekat mereka, atau beberapa
produk (teknologi) yang
berhubungan dengan kelompok
kerja tersebut. Mereka menilai
proses manajemen yang teratur
dan kurang resikonya jauh lebih
tinggi daripada inisiatif
kepemimpinan
Perilaku
Umum
Manajer memberi perhatian yang
cermat terhadap semua
konstituensi mereka, khususnya
pelanggan, memprakarsai
perubahan bila dibutuhkan untuk
melayani kepentingan mereka
yang sah, bahkan walaupun
menuntut pengambilan beberapa
resiko.
Para manajer cenderung
berperilaku agak picik, politis,
dan birokratis. Akibatnya,
mereka tidak cepat mengubah
strategi mereka untuk
menyesuaikan diri dengan atau
mengambil keuntungan dari
perubahan-perubahan dalam
lingkungan bisnis mereka.
Sumber: Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance,
The Free Press, New York.
Secara umum gambaran karakteristik budaya adaptif tercermin dari kualitas seperti
kepemimpinan, kewiraswastaan, penanggung resiko yang bijaksana, pembahasan yang
jujur, fleksibel, proaktif terhadap kehidupan organisasi dan kehidupan individu, para
anggota organisasi aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua
masalah dan mengimplementasikan pemecahan masalah yang dapat berfungsi, rasa
percaya diri (confidence) yang dimiliki bersama, tanpa rasa bimbang, bahwa mereka dapat
menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui,
kegairahan yang menyebar luas, semangat dalam mencapai keberhasilan organisasi,
serta para anggota organisasi reseptif terhadap perubahan dan inovasi.
Sebagaimana halnya tipe budaya organisasi sebelumnya, tipe budaya organisasi
ketigapun masih memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan yang menonjol dari teori
budaya adaptif adalah bahwa perubahan budaya dapat mendorong anggota organisasi
(pemimpin) untuk mengubah sesuatu ke arah yang salah.
Noe dan Mondy (1996:237) membedakan tipe budaya organisasi dalam dua kelompok,
yaitu: 1) open and participative culture, dan 2) closed and autocratic culture. Open and
participative culture ditandai oleh adanya kepercayaan terhadap bawahan, komunikasi
yang terbuka, kepemimpinan yang suportif dan penuh perhatian, penyelesaian masalah
secara kelompok, adanya otonomi pekerja, sharing informasi dan pencapaian tujuan
yangoutputnya tinggi. Closed and autocratic culture ditandai oleh pencapaian
tujuan outputyang tinggi, namun pencapaian tersebut mungkin lebih dinyatakan dan
dipaksakan pada organisasi dengan para pemimpin yang otokrasi dan kuat. Semakin
besar rigiditas dalam budaya ini, yang merupakan hasil kepatuhan yang ketat terhadap
suatu mata rantai komando formal, semakin sempit pula rentang manajemen dan
akuntabilitas individual. Selain itu, karakteristik ini lebih menekankan pada individual
daripada teamwork.
Handy dalam Suryadi (2003:126) mengembangkan tipe budaya organisasi berdasarkan
tingkat formalisasi dan sentralisasi. Atas dasar konfigurasinya itu, budaya organisasi
dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu: 1) formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi, 2)
formalisasi rendah, sentralisasi tinggi, 3) formalisasi tinggi, sentralisasi rendah, 4)
formalisasi rendah, sentralisasi rendah.
Formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi. Budaya tipe ini adalah budaya birokrasi dimana
semua pekerjaan sudah diatur secara sistematis melalui berbagai macam prosedur, kalau
perlu dengan time and motion study yang cermat. Dengan demikian porsi pekerjaan
anggota organisasi sudah ditetapkan dan bersifat rutin. Formalisasi rendah, sentralisasi
tinggi. Budaya seperti ini, tidak banyak terdapat peraturan atau prosedur. Kekuasaan
tertinggi berada di tangan satu orang atau sebuah kelompok kecil yang memberi komando
dari pusat, seperti seekor laba-laba yang berada di tengah jaringnya. Formalisasi tinggi,
sentralisasi rendah. Budaya ini terdapat pada kelompok-kelompok kerja interdisipliner
yang diorganisir berdasarkan suatu tugas atau proyek. Budaya seperti ini, cara kerja para
anggota sangat independen tetapi mereka terikat oleh berbagai prosedur yang ketat.
Formalisasi rendah, sentralisasi rendah. Budaya tipe ini sangat decentralized dan informal.
Para anggota organisasi mempunyai tujuan atau kepentingan yang sama tetapi masih
menikmati kebebasan individu yang tinggi. Budaya organisasi ini ditandai oleh
bergabungnya para ahli yang berdiri sendiri untuk bekerjasama berdasarkan kesamaan
minat dan kesenangan, seperti konsultan.
Deal dan Kennedy (1982:330) mengemukakan empat jenis budaya perusahaan.
(1)Macho culture. Perusahaan menganut budaya ini, anggotanya harus berani mengambil
risiko yang tinggi dan akan segera menerima umpan dari manajemen mengenai
tindakannya. Tampaknya budaya ini menimbulkan persaingan internal dan menganggap
konflik internal sesuatu yang wajar. (2) Work hard – play hard. Budaya perusahaan ini
ditandai oleh risiko rendah dan umpan balik yang cepat namun budaya ini menekankan
pada “keriangan” dalam bekerja serta lebih berorientasi pada masa kini. (3) Bet – your –
company. Budaya ini cenderung dianut perusahaan yang berada pada risiko tinggi namun
umpan balik terhadap pekerjaan biasanya relatif sama. Perusahaan minyak merupakan
salah satu contoh organisasi yang mungkin cocok dengan budaya ini. Budaya ini
menghargai kewenangan, kompetensi teknis, kerja sama dan tahan stress. (4) Process
culture. budaya ini tercermin pada risiko rendah dan umpan balik lambat. Nilai-nilai yang
dianut adalah protektif, dan keberhati-hatian. Perusahaan asuransi banyak menganut
budaya ini.
Harrison (1972) dalam Poespadibrata (1983:222) membedakan empat orientasi budaya
organisasi yang terpisah dan bertentangan satu sama lain, yaitu (1) orientasi kekuasaan
(power orientation), (2) orientasi peran (role orientation), (3) orientasi tugas (task
orientation), dan (4) orientasi person (person orientation).
Orientasi kekuasaan. Budaya ini menekankan kepada bagaimana lingkungan eksternal
dikuasai dan ditundukkan dan dicirikan oleh norma-norma: bersaing untuk menjaga
wilayah kekuasaannya, berusaha memperluas kekuasaannya dengan merugikan orang
lain, membeli dan menjual organisasi dan atau orang seperti barang komoditi, tidak
memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan anggota, hukum rimba masih
berlaku, mengejar keuntungan pribadi diantara para eksekutif organisasi.
Budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan memiliki beberapa kelemahan. Pertama,
tidak adaptif terhadap lingkungan yang perubahannya sangat dinamis dan menuntut
respons yang fleksibel. Hal ini antara lain disebabkan oleh keputusan yang diambil pada
tingkat top manajemen harus disalurkan melalui hirarki organisasi untuk menjaring
informasi yang “tidak sesuai”. Proses penyaringan informasi itu, biasanya akan
memperlambat respons organisasi pada perubahan lingkungan yang sangat cepat. Dapat
juga terjadi “pemutarbalikan” informasi untuk kepentingan pribadi. Kedua, biasanya hanya
sejumlah kecil anggota organisasi yang agresiflah yang mendapat kesempatan untuk
mengembangkan kariernya ke tingkat yang paling tinggi. Ketiga, tidak memberikan
peluang kepada para anggota lainnya untuk mengembangkan dan memanfaatkan
kontribusi internal, inisiatif atas dasar pertimbangan anggota itu sendiri. Keempat, pada
saat organisasi semakin besar dan kompleks, biasanya pengendalian dari pimpinan
tertinggi akan semakin sulit.
Di samping memiliki kekurangan, budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan juga
memiliki beberapa kelebihan. Pertama, struktur dan proses pengambilan keputusan pada
organisasi semacam ini, biasanya sangat efektif bagi pemecahan masalah yang menuntut
keputusan segera dan berisiko tinggi. Dalam situasi seperti itu, biasanya pula akan
muncul pemimpin-pemimpin agresif dan dapat memimpin organisasi dalam lingkungan
yang penuh resiko dan persaingan tinggi. Kedua, jika permasalahan yang muncul dapat
dipecahkan oleh satu atau sekelompok kecil orang di pucuk pimpinan, maka budaya yang
berorientasi kekuasaan akan berjalan lancar. Ketiga, dapat berfungsi efektif bagi para
anggota organisasi yang hanya sekedar ingin hidup dan mengutamakan keselamatan.
Orientasi peran. Budaya organisasi semacam ini sering disebut juga sebagai budaya
birokrasi yang merupakan reaksi terhadap budaya yang berorientasi kekuasaan. Orientasi
budaya ini ditandai antara lain oleh persaingan dan konflik diatur atau diganti oleh
kesepakatan atau perjanjian; adanya peraturan dan prosedur; hak dan kewajiban
diberikan dan ditaati secara cermat; keterikatan yang besar pada
hierarki/status/kedudukan diubah menjadi keterikatan pada keabsahan kewenangan dan
peraturan; kemantapan dan kehormatan sering dinilai setara dengan kemampuan;
respons yang benar cenderung lebih dihargai dari pada respons yang efektif; prosedur
untuk perubahan cenderung tidak praktis dan lambat untuk menyesuaikan dengan
perubahan lingkungan. Dengan demikian, esensi budaya semacam ini didasarkan kepada
keinginan untuk berpikir secara rasional dan setertib mungkin atas dasar hukum,
keabsahan, kewenangan, hak, dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Implikasinya, tidak ada pilihan bagi anggota organisasi, khalayak atau klien ketika
berhubungan dengan organisasi semacam ini. Contoh fenomena budaya semacam ini
dapat dijumpai pada organisasi-organisasi perbankan, asuransi dan organisasi-organisasi
non profit.
Terdapat beberapa kelemahan budaya berorientasi peran. Pertama, sebagaimana halnya
budaya orientasi kekuasaan, budaya orientasi peran juga dipandang tidak fleksibel dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan. Alasannya bahwa ketertiban, keteraturan,
kemantapan dan keamanan (prosedur) yang merupakan nilai-nilai yang dianut dalam
orientasi budaya peran, lebih diandalkan sehingga secara otomatis akan melahirkan
peran-peran dan struktur yang kaku dan hubungan birokratis. Akibatnya akan terbentuk
stabilitas yang kaku sehingga para pemimpin yang memiliki kekuasaan pun tidak akan
berdaya untuk menghasilkan perubahan yang dibutuhkan dengan cepat. Kedua, kurang
mampu beradaptasi dalam menghadapi ancaman yang mendadak dan meningkat, akibat
terlalu mengandalkan prosedur operasional yang sudah mapan. Sedangkan kelebihannya
adalah pertama, sangat efektif untuk organisasi yang sudah besar dan kompleks.
Kedua,memudahkan pimpinan tertinggi untuk melakukan pengendalian secara efektif.
Ketiga,memberikan pedoman kerja yang jelas berupa peraturan dan prosedur, yang
memberikan kemungkinan terbentuknya integrasi internal tanpa intervensi aktif dari
pimpinan tertinggi.
Orientasi tugas. Budaya organisasi semacam ini didasarkan kepada asumsi bahwa
pencapaian tujuan yang paling tinggi (super ordinate goals) merupakan prioritas utama
dan dinilai tinggi. Karena itu, struktur organisasi, fungsi dan kegiatan selalu dinilai
berdasarkan signifikansinya terhadap pencapaian tujuan yang gradasinya paling tinggi.
Budaya semacam ini antara lain ditandai oleh tidak ada yang boleh menghalangi
penyelesaian tugas dalam rangka pencapaian tujuan; mekanisme organisasi (peraturan,
struktur, prosedur) yang tidak efektif bagi pemecahan masalah selalu diubah untuk
memenuhi kebutuhan akan tugas dan fungsi yang dijalankan; wewenang dianggap sah
hanya jika didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi yang tepat; tidak ada sifat
kompetitif yang melekat pada budaya orientasi tugas; fleksibilitas organisasi sangat tinggi
dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan; pencapaian tujuan dan kesamaan
nilai-nilai yang dianut selalu menjadi acuan dalam setiap proses kerjasama.
Budaya semacam ini biasanya akan cocok bila dihadapkan kepada lingkungan yang tidak
hanya kompleks dan dinamis tetapi perubahannya sangat cepat. Strategi yang diterapkan
biasanya dengan cara membentuk satuan-satuan tugas atau tim-tim kecil yang terdiri atas
para ahli yang kompeten dalam bidangnya masing-masing. Satuan tugas atau tim yang
dibentuk tidak bersifat permanen melainkan bergantung kepada kebutuhan. Karena itu,
ketika satuan tugas sudah selesai menjalankan misinya, biasanya satuan tugas tersebut
dibubarkan dan para anggotanya bergabung dengan satuan-satuan tugas yang baru untuk
memecahkan masalah-masalah yang baru pula. Persoalan yang dihadapi budaya
organisasi berorientasi peran biasanya terlalu mengandalkan komitmen penuh dari para
anggota organisasi di semua jenjang organisasi.
Kelebihan dari orientasi budaya tugas antara lain, pertama, sangat fleksibel dalam
menghadapi dinamika perubahan lingkungan yang kompleks dan cepat.
Kedua,menciptakan sistem pengendalian yang lentur, sehingga memudahkan peralihan
dengan cepat bila sumber daya yang berbeda diperlukan atas dasar masalah-masalah
eksternal. Sedangkan kelemahannya adalah pertama, mengandalkan komitmen penuh
dari para anggota organisasi di semua tingkatan, sehingga terkadang memerlukan waktu
yang lama untuk merespon suatu perubahan. Kedua, sulit membina kohesi internal, akibat
oleh sifat kesementaraan dari satuan-satuan tugas atau tim yang dibentuk. Sementara itu,
kohesi internal memerlukan koordinasi kegiatan dan struktur yang berkesinambungan dan
stabil.
Secara umum budaya yang berorientasi tugas ini akan mudah ditemukan pada organisasiorganisasi
kecil, dimana para anggotanya terhimpun karena adanya nilai, tugas, atau
tujuan bersama. Sedangkan pada organisasi besar yang berteknologi tinggi biasanya
banyak ditemukan pada organisasi-organisasi industri (manufaktur).
Orientasi orang. Orientasi budaya ini didasarkan kepada asumsi bahwa organisasi
dipandang atau dinilai sebagai sarana bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhankebutuhan
mereka yang tak dapat dipenuhi jika dilakukan secara sendiri-sendiri. Karena
itu, dapat dikatakan bahwa keberadaannya dibentuk secara khusus untuk orang-orang
dengan motif dan kebutuhan akan kemandirian yang mampu mengekspresikan dirinya
sendiri. Kebutuhan-kebutuhan pribadi biasanya akan terpenuhi dalam organisasi yang
orientasi budayanya pada person. Ciri budaya organisasi yang berorientasi pada person
ditandai oleh: kewenangan bila diperlukan dapat diserahkan kepada seseorang selama
dinilai cakap dan ahli untuk menjalankan kewenangannya, sebagai gantinya para anggota
diharapkan akan saling mempengaruhi lewat keteladanan, sikap saling menolong dan
kepedulian; metode musyawarah untuk mufakat lebih disukai dalam pengambilan
keputusan: secara umum, para anggota organisasi tidak diharapkan melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan tujuan dan nilai mereka sendiri; aturan diberlakukan atas dasar
kesukaan pribadi dan kebutuhan untuk belajar dan berkembang; beban tugas yang tidak
memberikan imbalan dan tak menyenangkan ditanggung bersama.
Organisasi yang berorientasi pada budaya semacam ini, pada kenyataannya sangat
jarang. Kalaupun ada, biasanya muncul dalam bentuk biro-biro konsultan atau bantuan
yang relatif kecil dan biasanya bergerak di bidang arsitektur, hukum, dan sosial.
Kelebihan organisasi yang berorientasi person diantaranya: pertama, mampu beradaptasi
terhadap dinamika perubahan. Mengingat, struktur pada organisasi budaya seperti ini
memiliki struktur yang lentur dan jalur komunikasi serta pengendalian yang pendek.
Kedua, para anggota organisasi cenderung mempunyai komitmen dan tingkat kepedulian
yang tinggi terhadap organisasi. Sedangkan kelemahannya biasanya kesulitan dalam
mengerahkan dan mengarahkan kegiatan para anggotanya secara bersama-sama untuk
menghadapi resiko.
Fungsi Budaya Organisasi
Sebuah budaya organisasi memenuhi beberapa fungsi, yaitu:
1. Memberikan identitas organisasi kepada karyawan. Sebagai contoh adalah
mempromosikan inovasi yang memburu pengembangan produk baru. Identitas ini
didukung dengan mengadakan penghargaan yang mendorong inovasi.
2. Memudahkan komitmen kolektif. Dimana para karyawan bangga menjadi bagian dari
organisasi.
3. Mempromosikan stabilitas system social. Stabilitas system social mencerminkan taraf
dimana lingkungan kerja dirasakan positif dan mendukung, dan konflik serta perubahan
diatur dengan efektif. Organisasi juga berusaha meningkatkan stabilitas melalui budaya
promosi dari dalam.
Menurut John R.Schemerhorn dan James G.Hunt (1991:344) bahwa: “The culture of an
organization can help it deal with problems of both external adaption and internal
integration”.
Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan diri individual seseorang.
d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu
dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Sumber-sumber Budaya Organisasi
Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:264), budaya
organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat
dikendalikan oleh organisasi.
2. Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat
Keyakinan-keyakinan dn nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya
kesopansantunan dan kebersihan.
3. Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi
Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah
eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang
berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi
tumbuhnya budaya organisasi.
Ciri-ciri Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996:289), ada 7 ciri-ciri budaya organisasi adalah:
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi
inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan
kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik
dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada
orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya
individu.
6. Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.
7. Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang
sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh
gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk
perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi
itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku
(Robbins, 1996 : 289).
Tipe Budaya Organisasi
Terdapat tiga tipe umum budaya organisasi, yaitu: konstruktif, pasif-defensif, dan agresifdefensif.
Setiap tipe berhubungan dengan seperangkat keyakinan normative yang
berbeda.
Keyakinan normative mencerminkan pemikiran dan keyakinan individual mengenai
bagaimana anggota dari sebuah kelompok atau organisasi tertentu diharapkan
menjalankan tugasnya dan berinteraksi dengan orang lain.
Pasif-defensif adalah keyakinan yang berciri memungkinkan karyawan berinteraksi
dengan karyawan lainnya dengan cara yang tidak mengancam keamanan kerjanya
sendiri.
Budaya agresif-defensif mendorong karyawannya untuk mengerjakan tugasnya dengan
keras untuk melindungi keamanan kerja dan status mereka. Tipe budaya ini bercirikan
keyakinan normative yang berhubungan dengan persetujuan, konvensional,
ketergantungan dan penghindaran.
Bagaimana Budaya Ditanamkan dalam Organisasi
Edgar Schein, sarjana perilaku organisasi yang terkenal mengatakan bahwa menanamkan
sebuah budaya melibatkan proses belajar. Anggota organisasi mengajarkan satu sama
lainnya mengenai nilai-nilai, keyakinan, pengharapan, dan perilaku yang dipilih organisasi,
dengan menggunakan satu atau lebih mekanisme berikut:
1. Pernyataan filosofi formal, misi, visi, nilai, dan material organisasi yang digunakan untuk
rekruitmen, seleksi, dan sosialisasi.
2. Desain secara ruangan fisik, lingkungan kerja, dan bangunan. Mempertimbangkan
penggunaan alternative baru desain tempat kerja yang disebut dengan ‘hoteling’.
3. Slogan, bahasa, akronim, dan perkataan.
4. Pembentukan peranan secara hati-hati.
5. Penghargaan eksplisit, symbol status, dan criteria promosi.
6. Cerita, mitos, legenda suatu peristiwa dan orang-orang penting.
7. Aktifitas, proses, atau hasil organisasi yang juga diperhatikan, diukur, dan dikendalikan
pimpinan.
8. Reaksi pimpinan terhadap insiden yang kritis dan krisis organisasi.
9. Struktur organisasi dan aliran kerja.
10. Sistem danprosedur organisasi.
11. Tujuan organisasi dan criteria gabungan yang digunakan untuk rekruitmen, seleksi,
pengembangan, promosi, pemberhentian, dan pengunduran diri karyawan.
BAB 3
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau system keyakinan, nilai-nilai dan
norma-norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku
bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal.
2. Karakteristik budaya organisasi, yaitu: 1. Perilaku individu yang tampak.2. Normanorma
yang berlaku dalam organisasi.3. Nilai-nilai yang dominan dalam kehidupan
organisasi.4. Falsafah manajemen.5. Peraturan-peraturan yang berlaku. 6. Iklim
organisasi. 7. Inisiatif individu organisasi. 8. Toleransi terhadap resiko. 9. Pengarahan
pimpinan/manajemen. 10. Integrasi kerja. 11. Dukungan manajemen. 12. Pengawasan
kerja. 13. Identitas individu organisasi. 14. Sistem penghargaan terhadap prestasi kerja.
15. Toleransi terhadap konflik, dan 16. Pola komunikasi kerja.
3. Fungsi budaya organisasi, yaitu:
1. Memberikan identitas organisasi kepada karyawan.
2. Memudahkan komitmen kolektif.
3. Mempromosikan stabilitas system social.
4.Terdapat tiga tipe umum budaya organisasi, yaitu: konstruktif, pasif-defensif, dan agresifdefensif.
Setiap tipe berhubungan dengan seperangkat keyakinan normative yang
berbeda.
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Davis, A., (1984). Managing Corporate Culture. Cambridge, MA : Belinger.
2. Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnelly, Jr.
(1996). Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses, (Alih Bahasa Nunuk Adiarni),
Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta.
3. Hofstede, G., (1991), Cultures and Organizations: Software of The Mind,
McGraw-Hill Book Company, London.
4. Kennedy, Allan A. & Deal Terrence. E, (1982), Strong Cultures : The New “Old
Rule” for Bussiness Success, Wesley Publishing Company, P: 327-335.
5. Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance,
The Free Press, New York.
6. Kreitner, Robert & Kinicki, Angelo. (2003). Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa
Indonesia, Jakarta : Salemba Empat.
7. Luthans, Fred. (1998). Organization Behavior. International Edition, Sixth Edition,
Mc Graw-Hill, Singapore.
8. Mondy, R. Wayne, Robert M. Noe, (1993). Human Resources Management.
Allyn and Bacon Inc, USA.
9. Pace, R. Wayne & Faules, Don F. (1994). Organizational Communication. Third
Edition. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Clifs.
10. Poespadibrata, Sidharta. (1993). Sistem Nilai, Kepercayaan dan Gaya
Kepemimpinan Manajer Madya dalam Konteks Budaya organisasional. Disertasi.
Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
11. Robbins, Stephen P., (2001), Organizational Behavior, New Jersey: Pearson
Education International
12. Sackman, Sonja. (1991). Culture Knowledge In Organization. Newbury Park.
Calif. Sage.
13. Schein, Edgar H. (1992). Organizational Culture and Leadership. San Francisco:
Jossey Bass, Pub.
14. Sharplin, A., (1995), Strategic Management, McGraw-Hill, New York.
15. Siagian, Sondang, P. (1992). Kerangka Dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: PT
Rineka Cipta
16. Stoner, James A. F. & Edward Freeman, Daniel R. Gilbert, Jr.
(1996). Manajemen.Edisi Indonesia, Alih Bahasa Alexander Sindoro, PT.
Prehallindo, Jakarta.
17. Suryadi, Edi. (2003). Pengaruh Sistem Komunikasi Organisasi terhadap
Efektivitas Organisasi. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
18. Susanto A. B. (1997). Budaya Perusahaan: Manajemen dan Persaingan
Bisnis.Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
19. Aa Anwar P M. Perilaku dan Budaya Organisasi. 2008. Bandung. PT Refika Aditama
20. Manahan M Tampubolon. Manajemen Operasional. 2004. Jakarta. Ghalia Indonesia
21. R Kreiner, A Kinick. Perilaku Organisasi. 2000. Jakarta. Penerbit Salemba Empat
22. Yayat M Herujito. Dasar-dasar manajemen. 2001. Jakarta. Grasindo
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/teori-budaya-organisasi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_organisasi